Bendungan Itu Bernama Yunani
“Yaudah, kalau gitu kita ke Yunani aja. Gimana?” ujar Bang Gethuk.
Saya, Santi dan Mbak Rara yang sebelumnya sudah diceritakan dan ditunjukkan dari foto, mengangguk setuju.
“Jalannya nggak begitu terjal, tapi harus nunggu terang dulu baru berangkat.” Tambah Bang Gethuk.
* * *
Sehabis makan malam dengan sego tempong di Kota Banyuwangi, saya bersama Santi, Faruk, mbak Rara dan Bang Gethuk menggeber motor menuju Paltuding. Kami menghangatkan diri dengan menyeruput secangkir kopi di salah satu warung. Suhu di Paltuding cukup dingin hingga membuat napas mengeluarkan kepulan asap seperti orang yang sedang merokok.
Tanggal dibangunnya bendungan
Kami memutuskan untuk istirahat dulu sebelum mendaki Kawah Ijen. Pukul 9 malam masih terlalu sore untuk mendaki. Loket penjulan tiket pun baru buka pukul 1 dini hari. Kami tidur di sebuah shelter (seperti shelter di pos pendakian gunung) yang cukup besar. Bukan hanya kami yang beristirahat di situ, beberapa orang sudah berada di alam mimpi saat kami datang. Sementara Santi dan Mbak Rara menggelar matras untuk tidur, saya dan Faruk bergelantungan di hammock.
Langit cerah tanpa awan malam itu. Cahaya bulan cukup terang untuk menerangi jalan. Kami mendaki bersama puluhan wisatawan lain. Diantara banyaknya wisatawan, ada para penambang belerang. Mereka mendaki dengan mendorong gotrok yang biasa digunakan untuk membawa turun belerang. Ternyata bagi mereka fungsi gotrok bukan sekedar mengangkut belerang, melainkan bisa dijadikan jasa ojek. Bagi yang lelah atau malas mendaki, dapat menggunakan jasa Go-Trok ini untuk naik maupun turun.
Di tengah perjalanan, musibah menimpa Santi. Ketika mendaki, kakinya terperosok ke jalan yang berlubang hingga membuat kakinya terkilir. Akibat hal tersebut kami menghentikan perjalanan dan memutuskan untuk berhenti di Pos Bunder.
Pos Bunder
Setelah istirahat beberapa saat, Santi merasa kakinya baikan. Ia mengajak untuk lanjut mendaki ke puncak. Kami membujuknya untuk turun saja, karena khawatir kakinya sakit lagi dan menjadi tambah parah. Namun ia tetap pada pendiriannya. Ia merasa sanggup dan ingin tetap lanjut. Karena keinginannya yang besar, Bang Gethuk lalu memberi alternatif lain.
Saya, Santi dan Mbak Rara yang sebelumnya sudah diceritakan dan ditunjukkan dari foto, mengangguk setuju.
“Jalannya nggak begitu terjal, tapi harus nunggu terang dulu baru berangkat.” Tambah Bang Gethuk.
“Oke siap, Bang!” timpal saya.
Kami kembali mendaki setelah matahari terbit, kali ini tujuannya adalah Yunani. Tidak jauh dari Pos Bunder, Faruk yang berjalan paling depan keluar dari jalur utama (jalur ke puncak) dan masuk ke ‘gerbang’ menuju Yunani. Jalurnya sempit, hanya jalan setapak yang muat dilewati satu orang. Semak belukar tumbuh rimbun di sisi kanan dan kiri jalan, menandakan bahwa tidak banyak orang yang lewat.
'Gerbang' ke Yunani
Rimbun!
Gunung Raung
Meski cukup jauh, tapi jalannya tidak begitu menanjak. Pemandangannya pun ciamik. Kami disuguhi panorama Gunung Raung di kejauhan. Setelah 1 jam berjalan, trek berganti menjadi pasir berbatu. Medan yang sebelumnya ditumbuhi pohon dan semak yang lebat, setelah melewati batas vegetasi berubah menjadi gersang. Dari situ pula kami dapat melihat kawah. Yap, ‘kawah’-nya Kawah Ijen!
Perlu berhati-hati
Kawahnya sudah terlihat
Dan inilah Yunani. Sebutan untuk bendungan Kawah Ijen. Spot yang jarang diketahui oleh wisatawan. Kalau bukan karena Faruk dan Bang Gethuk yang asli Banyuwangi, saya pun tidak akan mengetahuinya. Pemandangannya sangat memukau, luar biasa amazing pokoknya mah! Air kawah yang berwarna hijau tosca terlihat begitu kontras dengan dinding kawah yang mengelilinginya.
Pada akhirnya, puncak memang hanyalah bonus. Begitu juga dengan blue fire. Namun saya tidak kecewa, karena keindahan Yunani pun tak ada duanya. Mungkin pada kesempatan berikutnya saya baru diizinkan untuk dapat menyaksikan kobaran blue fire yang tersohor itu. No blue fire? no problem!
0 comments: