Mendaki Gunung Agung Bersama Para Legenda
Sebelumnya saya mohon maaf karena nggak pernah update lagi. Tahun 2017 blog ini benar-benar kek kuburan. Sampai bulan April saja saya cuma posting 4 tulisan. Eh setelah itu lebih parah lagi. Sejak April sampai Oktober ini saya nggak pernah posting apapun. 5 bulan berarti yah? Parah banget! Sampai-sampai ada komentar disalah satu tulisan yang bertanya sesuatu, saya baru jawab beberapa bulan setelahnya :( InshaAllah mulai saat ini saya tidak akan membiarkan blog ini terbengkalai lagi. Huhuhu.
Oke langsung saja saya mau bercerita pengalaman naik gunung lagi..
Berawal dari ajakan
seorang teman, Hana, untuk ikut pendakian gunung bersama Kang Bongkeng yang
diselenggarakan oleh Eiger. Mendengar ajakan itu saya langsung menyerbu teman
saya dengan pertanyaan. Kapan eventnya? Mendaki di gunung mana? Biaya
registrasinya berapa? Saya sangat antusias. Bagaimana tidak? Kang Bongkeng
adalah seorang legenda hidup yang memiliki segudang pengalaman dalam dunia
pendakian gunung. Beliau merupakan anggota WANADRI dan sekarang berada dalam
team EAST EIGER. Kesempatan untuk mendaki bersama beliau adalah hal yang
langka, maka saat mendengar kabar tersebut seketika saya jungkir balik.
Kabar yang diperoleh teman
saya ini ternyata dari adminnya EIGER, mbak Didy, namun baru sekedar bilang “eventnya
nanti pertengahan bulan Mei di Gunung Agung”. Pas banget! Saya belum pernah ke
Gunung Agung. Untuk tanggalnya menunggu publikasi resmi di social media EIGER. Selang
seminggu teman saya kembali memberi kabar bahwa poster event mendaki Bersama
kang bongkeng sudah muncul. Seketika saya langsung mencari informasinya di OA
Instagram EIGER.
Gak pake lama, saya
langsung registrasi. Eventnya sendiri pada tanggal 19 – 21 Mei 2017 lalu, hari
Jum’at sampai Minggu. Saya dan Hana janjian berangkat bareng di hari kamisnya naik
kereta ke Banyuwangi, terus estafet nyebrang ke Bali naik kapal pelni dan
lanjut ngebus ke Denpasar. Tapi manusia memang hanya bisa berencana. Saya
terancam batal ikut event akibat ada urusan kampus yang belum terselesaikan. Nggak
mau rugi karena udah bayar biaya regist, saya tanya mbak Didy perihal ini. Dan
untungnya mendaki Gunung Agung dilakukan di Sabtu pagi dan Jum’atnya itu camp
di Embung Besakih dengan diisi materi tentang pendakian gunung. Hana tetap
berangkat hari kamis sore dan dapat barengan dari Bangil, Om Juned. Sedangkan
saya Jum’at sore baru berangkat dari Malang.
Eiger Sunset Road – Embung Besakih. Saya
ditinggal :(
Singkat cerita dengan
melewati segala rintangan, akhirnya saya sampai di Embung Besakih Sabtu jam 9
pagi. Saat itu masih dalam materi navigasi darat. Telat 1 jam saja saya bakal
ketinggalan rombongan, karena jam 10 mulai berangkat mendaki Gunung Agung. Jujur
saat itu saya masih capek. Setelah perjalanan panjang Malang – Besakih selama
18 jam non-stop, tubuh rasanya seolah mengajak istirahat untuk beberapa jam. Tapi
saya harus mengikuti rangkaian acara yang telah terjadwal. Jeda 1 jam tersisa
pun saya gunakan untuk packing ulang. Pupus sudah harapan untuk gogoleran sejenak. Heuheu. Saya hanya
bisa berdoa semoga tubuh ini mampu untuk mendaki.
Ternyata bukan hanya
Wa Bongkeng legenda pergunungan yang hadir disana. Hadir juga Kang Galih,
Paimo, Kang Mamay dan Kang Kwecheng yang merupakan bagian dari team EAST EIGER.
Yang tak diduga ternyata ada Ramon Y. Tungka! Luar biasa! Tema eventnya memang
“mendaki bareng Kang Bongkeng”, tapi tak disangka banyak legenda lainnya.
Bener-bener nggak rugi deh ikut event ini. Tapi yang bikin lebih kaget lagi
adalah ketemu teman SMP yang semenjak lulus tak pernah berjumpa! Si Dik-dik
urang Cikijing. Kenapa juga bisa ketemu di eventnya Eiger, di Bali pula.
Ngakak! Haha!
Noh Bang Ramon
Sebelum mendaki, kami
mendapat briefing dari panitia. Dari sekian banyaknya peserta (sekitar 50
orang), dibagi beberapa regu saat mendaki. Tiap regu berisi 8 – 12 orang, plus
1 orang guide. Jalur Embung Besakih ini jalur alternatif dari 2 jalur lainnya
yaitu Pura Besakih dan Pura Pasar Agung. Menurut penuturan Bli Komang, guide
kami, jalur Embung Besakih ini lebih singkat waktu perjalanannya. Saya pun
terlarut dalam kata-katanya, lebih singkat waktu perjalanan = cepat sampai lalu
tidur :D
Regu 3!
(dari kiri: Sherly,
pacarnya sherly, Hana, Angie, Anin, Aing :D, Oma, Kang Galih & Bli Komang
Namun waktu perjalanan
yang singkat pun ada konsekuensinya, jalurnya nanjak terus tanpa ampun! MasyaAllah!
Mana badan belum sempat diistirahatkan. Langsung dibawa mendaki rasanya lebih
baik turun lagi dan mending ngecamp di pantai. Heuheu. Awalnya sih semangat. Pake
nyanyi-nyanyi lah. Nyemangatin teman satu regu yang diawal perjalanan sering
minta break. Padahal mah saya juga butuh disemangatin. Hikz.
Regu saya berangkat ke – 3, selang 10 – 15
menit tiap regu. Pada 1 – 2 jam
awal kami masih bareng terus. Tapi lama-kelamaan udah mulai kepencar-pencar. Yang
jalannya cepet udah di depan nggak kelihatan. Saya paling
belakang sendiri, nimbrung sama regu lain. Malah disalip sama Wa Bongkeng yang
berangkatnya belakangan. Meski umur udah nggak muda lagi, jiwa dan semangatnya
masih muda. Luar biasa uwa! Saya jadi isin euy. Pada suatu ketika, tahu-tahu saya
sudah berada di rombongan terakhir bareng beberapa panitia yang jadi sweeper. Hahaha.
Menyedihkan T_T
Break!
Saya curi-curi kesempatan buat tidur :p
Medan yang dilalui dari Embung Besakih ini diawal
vegetasinya cukup rapat. Jadi nggak langsung terpapar sinar matahari. Meski
sebenarnya cuaca juga nggak panas-panas banget. Bahkan sesekali turun kabut. Adem.
Bikin Ngantuk. Bawaannya pengen tidur :O
Hutan
yang diselimuti kabut
Kecepatan mendaki saya benar-benar berada
pada tempo yang sangat lambat. Nafas nggak beraturan. Irama langkah kaki ngaco.
Banyak break. Banyak ngeluh pula. Parah pokoknya kala itu. Ketika yang lain
sudah sampai area camp sekitar jam 3 – 5 sore. Sementara saya menikmati sunset
di perjalanan bersama beberapa peserta lain yang jalannya kek keong juga.
Untungnya medan sudah mulai terbuka, sehingga saya dapat menyaksikan sunset
yang cantik.
Matahari
mulai terbenam
Jam 18.30 saat hari sudah gelap, saya baru
sampai di area camp. Ekspektasi memang kadang tak sesuai dengan realita. Awalnya
saya berharap langsung geletak tiduran begitu sampai camp area. Tapi ternyata
saya masih harus mencari lapak untuk mendirikan tenda. Hana dan beberapa teman satu
regu yang lain sudah jaketan kedinginan menunggu saya karena tenda ada di
carier saya. Hehehe. Maapkeun.
Semburat
jingga penanda waktu senja
Setelah puter-puter cari lapak, ternyata
tanah datar untuk mendirikan tenda sudah tak tersisa. Walhasil saya ingin turun
lagi aja dan ngecamp di pantai! Heuheu! Daripada terlantar nggak jelas. Lalu
kami memutuskan untuk berpencar dan nimbrung di tenda peserta lain. Dan
alhamdulillah saya bersyukur banget salah satu peserta, Tony, mempersilahkan
kami tidur di tendanya. Sedangkan dia sendiri join dengan teman 1 regunya. Aktivitas
dilanjut makan bareng temen regu. Nikmatnya saya tinggal sedia piring saja,
karena ada Oma, Hana, Sherly dan Anin yang punya kendali urusan dapur. Enaknya
kalau naik gunung bareng cewek itu ada yang masakin. Seringnya saya naik gunung
batangan semua, boro-boro ada yang masakin. Ujung-ujungnya masak sendiri, mana
nggak ada bisa masak. Tapi kalau di gunung mah makanan kek gimana pun terasa
enak kok. Betul betul? Setelah berjam-jam tertunda, akhirnya saya bisa
meluruskan seluruh badan. Waktunya molooooor!
Keesokan paginya saya terbangun oleh
teriakan Paimo, yang memang dari hari sebelumnya juga begitu katanya. Tukang
bangunin peserta. Yang bikin ngakak, dia bangunin sambal teriak “TARAHU TARAHU
TARAHUUU!”. Udah kek mamang-mamang yang lagi jualan tahu. Ngakak lah pokoknya kalau
inget moment ini.
30 menit setelah dibangunin Paimo, tepatnya
jam 4.30 kami sudah siap untuk melakukan summit attack! Nggak seperti saat awal
keberangkatan yang loyo banget, kala itu saya lumayan fresh karena sudah
melampiaskan rasa lelah dengan molor beberapa jam. Ditengah gelap dan dinginnya
malam, kami seluruh peserta dan panitia mendaki menuju Puncak Gunung Agung. Bismillahirrohmanirrohim!
Perjalanan menuju puncak cukup singkat
namun sangat menguras tenaga karena medannya yang nanjak terus! Ya sama seperti
gunung lainnya, kalau udah deket puncak nanjaknya kek gimana. 1,5 jam yang saya
butuhkan untuk sampai di puncak dan disambut oleh golden sunrise yang
sungguh-sungguh EPIC! Warna kuning kemerah-merahan serta paparan hangat
sinarnya selalu saya rindukan tiap kali mendaki gunung.
EPIC!
Puncak sudah dipenuhi oleh antrian peserta
yang ingin foto bareng Wa Bongkeng, sang legenda pergunungan Indonesia. Ini
kesekian kalinya saya bertemu Wa Bongkeng, tapi untuk pertama kalinya dapat
mendaki bersama beliau. Saya sungguh kagum pada beliau. Di umur yang sudah
tidak muda lagi, dia tetap menggeluti hobinya dikegiatan outdoor. Meski tidak
berkata secara langsung, beliau membuktikan dan seolah berujar bahwa kalau ada
kemauan, umur bukanlah batasan untuk melakukan sesuatu yang diinginkan. Apalagi
hobi. Asal semangat tetap terjaga, mimpi itu dapat diraih. Tentu dengan
disertai usaha dan do’a. Push your limit!
Di puncak
bareng Wa Bongkeng
Wa Bongkeng memang luar biasa. Sehat selalu
uwa, tetap menginspirasi!
Dokumentasi lainnya:
Memandang
Gunung Batur
Banyak
banget kan yang ikut
Kalau
ini pas lagi turun
Indonesia si Negeri Dongeng :D
Makbar
penutup acara
Dokumentasi dari Bang Wildan, Jurnalis Metro TV yang ikut event
0 comments: