Pendakian Gunung Lawu #2: Perjalanan Menuju Warung Mbok Yem
“Siapa yang masak di warung saya? Kalau mau masak di tenda
sendiri saja jangan di sini! KELUAR!!!”, itu yang saya dengar saat baru aja makan
satu suap mie. Seisi warung seketika kaget mendengarnya. Ternyata dia adalah
bapak sang empunya warung. Hanya ada 2 rombongan yang sedang masak saat itu.
Kami dan rombongan pendaki di samping kami. Dari pada urusannya jadi makin
panjang, kami langsung beres-beres alat masak dan packing. Sedikit demi sedikit
para pendaki keluar dari warung bapak itu.
“Hampura pak, kalau bisa pasang tenda mah kami juga nggak
bakal masak di warungnya bapak. Tapi di luar badai pak, yang ada tenda kami
udah basah duluan sebelum berdiri. Percuma. Toh warung bapak juga tutup, nggak
ada barang-barangnya. Terus kami mau pesan apa? Bapak nggak kasihan melihat
pendaki pada kedinginan setelah kena badai? Warungnya digunakan sebentar untuk
menghangatkan tubuh sampai hujan reda boleh lah ya. Itung-itung amal, bapak
sebagai yang punya tempat juga dapat pahala. Iya kan, Pak?” Begitu kata saya,
tapi dalam hati. :v
Kami kemudian bergegas mencari lapak. Di langit yang mulai
gelap dan gerimis yang terus menerpa, kami memasang tenda meski tubuh sudah
kedinginan. Menggelar tenda, menyambungkan frame, mengikat tali hingga memasang
pasak kami lakukan dengan cepat. Begitu tenda sudah terpasang dengan baik, kami
masuk satu per satu. Dan.. aaah hawa di dalam tenda tak sedingin di luar.
Apalagi kami duduk berdempetan membuat hawa panas terperangkap. Lumayan laah.
Mie goreng berkuah yang sebelumnya udah dimasak, kami santap
dengan lahap. Tak ada aktivitas lain lagi setelah itu. Kondisi tubuh yang sudah
lelah, plus hujan yang belum reda membuat kami tak melakukan apapun selain
tarik sleeping bag. Meski posisi tidur nggak nyaman, saya tetap paksakan untuk
tidur. Biar awalnya cuma merem doang, tapi akhirnya bisa molor juga. :D
Banyak pendaki yang
numpang tidur di warung
Tapi nggak lama. Sekitar jam 12 malam, saya kebangun karena
Eko dan Idang grasak-grusuk. Mau lanjut tidur nggak bisa. Jadilah saya masak
air buat bikin energen. Lalu dilanjut masak mie dan menggoreng tempe bosoknya
Eko. Iya beneran bosok (busuk) lho. Edisi kelaparan tengah malam. Saat yang
lain lanjut tidur, saya keluar tenda. Dinginnya bukan main, jari-jari kaki dan
tangan seperti mati rasa. Meski hujan udah reda, ternyata langit masih berawan.
Bintang yang terlihat pun hanya sedikit. Sebaliknya, lampu-lampu kota menyala
terang. Sambil berkeliling pos 5, saya masuk ke salah satu warung untuk ngopi.
Ternyata, masih ada beberapa pendaki yang baru tiba. Padahal saat itu sudah
menunjukkan jam 2 dini hari. Nggak ada teman begadang, saya memutuskan untuk
kembali tidur.
Paginya saya terbangun oleh keriuhan para pendaki di luar
tenda. Warna kemerahan di langit mulai terlihat di ufuk timur. Namun, matahari
belum naik. Saya keluar mencari udara pagi yang kemudian disusul oleh Rahman
dan Eko. Sedangkan Idang dan Brian masih pingsan. Ketika sunrise sudah lewat,
beberapa pendaki ada yang langsung melanjutkan perjalanan ke puncak. Sementara
kami memilih leyeh-leyeh dulu. Selain belum sarapan, kami akan ke puncak sambil
membawa seluruh logistik. Karena kami akan turun lewat jalur Cemara Kandang.
Sunrise dari pos 5
Makan indomie goreng
berkuah :v
Perjalanan diawali dengan turunnya kabut yang membuat suhu
menjadi dingin. Tapi kabutnya cuma lewat doang. Setelah itu langit cerah.
Panorama sepanjang jalan ke puncak pun terlihat sangat indah. Trek berupa
susunan batu akhirnya berakhir saat memasuki Sendang Drajat, yaitu pos yang
terdapat sumber mata airnya. Setelah itu trek berganti menjadi tanah. Saat itu
juga Eko bisa bernafas lega. Dia bilang, dia paling malas dengan trek berbatu
gitu. Padahal kalau menurut saya sih itu wenak :D
Pagi yang berkabut
Sendang Drajat
Sekitar 1 jam kemudian kami tiba di Hargo Dumilah alias
Puncak Lawu! Uyee! Ada tugu setinggi 5 meter di puncaknya. Sudah banyak pendaki
yang tiba duluan. Dan sedang mengantriii untuk gantian berfoto di depan tugu
dengan tulisan “Alhamdulillah Puncak Lawu 3265 mdpl”. Dari puncak, terlihat
juga Telaga Kuning. Saya baru tahu kalau di Lawu ada telaga saat melihat peta
di pos perizinan. Penasaran sih pengen turun ke sana. Tapi mengingat kami harus
cepat turun, yah lain kesempatan aja deh ya.
Jalan setapak menuju
puncak… yang belum kelihatan
Telaga Kuning
Puncak Lawu / Hargo
Dumilah
Nggak lama kami di puncak. Yah 30 menit paling. Karena kami
udah pengen ke Warung Mbok Yem. Apalagi kalau bukan makan di warung tertinggi
di Gunung Lawu? Pecelnya itu lho udah ngebet banget dari sehari sebelumnya.
Apalagi si Eko. Eh, nyatanya saat pesan pecel. Ngantrinya rameee. Entah bakal
kebagian kapan. Sampai-sampai ditawarin soto. Dari pada lama nunggu doang, mau
nggak mau kami pesan soto. Udah lapar juga. Dan ketika siaaap, yang datang
bukanlah soto. Malah lebih mirip nasi dikasih kuah bening plus daging. Heuheu.. yasudahlah, disyukuri saja
nikmat yang diberikan. Toh, digunung mah makanan apa aja jadi terasa enak.
Apalagi yang udah enak, jadinya enak kuadrat. Hehehe!
Nyarap dulu bosque
Yah meski pecelnya nggak keturutan, seenggaknya kami udah makan
di retoran ternama di Gunung Lawu. Warung tertinggi di dunia lho! Eh iya nggak
sih? Iya aja deh ya. Letaknya yang dekatnya dengan puncak, pas banget dijadikan
tempat transit. Apalagi dalam kondisi capek. Tiduran bentar di warung, eh malah
keterusan. Malah tidur beneran. Mantap deh pokoknya.
Memang sih, selain ke puncak hargo dumilah, para pendaki
naik ke Lawu itu tujuannya pengen ke warung Mbok Yem. Pada penasaran sama
pecelnya. Termasuk juga saya. Makanya saya tulis judul postingan ini dengan “perjalanan
menuju warung mbok yem”. Hehehe!
Bonus Edelweiss :))
Bonus lagi :p
wahahaha gokil warung mbok yem terkenal bgt :v warung gtu doang padahal
BalasHapussalam kenal gan, ane dari Blog Bisnis
terkenal banget gan itu warung di kalangan pendaki.. legendaris
BalasHapus