Pendakian Gunung Lawu #1: Naik Tangganya Cemoro Sewu
Lama nggak naik gunung bikin saya rindu rasanya berada
diketinggian. Berdiri lebih tinggi dari awan. Dinginnya malam di gunung.
Hangatnya sinar matahari saat terbit di pagi hari. Nikmatnya merebahkan badan
setelah seharian mendaki. Dan masih banyak lagi. Setahun lebih saya nggak ndaki.
Terakhir kali saat ke Papandayan Agustus 2015 lalu. Sebenarnya saya naik gunung
sih, ke Gunung Panderman dan Gunung Mahawu di Tomohon. Tapi keduanya itu
ditempuh sekitar 2 jam perjalanan. Sedangkan saya merindukan pendakian yang
bisa menghabiskan waktu agak lama di gunung. Sampai beberapa ari gitu. Maklum,
belakangan ini saya lebih sering main ke pantai atau tempat wisata lainnya.
*ciee anak pantai
Finally, 1 – 2 Oktober kemarin saya baru saja mendaki Gunung
Lawu. Yang bertepatan dengan tanggal 1 Suro. Ya, saya sendiri baru sadar kalau
waktu itu 1 suro saat sudah turun. Berangkat dari Terminal Arjosari Malang,
saya bersama Idang, Rahman dan Eko menuju Surabaya sekitar jam setengah 10
malam. Rencana menumpak bus ekonomi gagal karena yang tersisa hanya bus patas
(IDR 25K). Bukannya kenapa, budget sudah kami hitung secara terperinci. Kalau diawal
aja nggak sesuai rencana, seterusnya budget bakal membengkak. Maklum mahasiswa,
duit untuk jalan-jalan aja harus ngirit pengeluaran buat makan dulu. Heuheu..
Perjalanan ke Surabaya nggak itu kerasa. Sekali merem, pas buka
mata tau-tau udah sampai aja di Terminal Bungurasih. Ajaib! Kalau malam emang
cepat, nggak sampai 2 jam bisa lho. Di terminal, kami bertemu dengan teman Eko
yang juga akan ikut mendaki bersama kami. Brian namanya. Badannya kecil, tapi
cariernya buesar. Isinya 4 botol air mineral ukuran 1.5 L. Jago! Saya mah
males. Paling banyak aja 2 botol + plus 1 botol yang 600 mL. Soalnya kan ada
sumber air. Kalau naik gunung yang nggak ada sumber airnya, nah itu lain lagi
ceritanya. Saya bawa kompan sudah!
Perjalanan kami lanjut lagi naik bus ekonomi Jurusan
Yogyakarta yang mampir di Terminal Maospati (Magetan) seharga Rp 30K/orang. Formasi
kursinya 2 – 3, dan itu pun sudah hampir penuh. Jadi tinggal kebagian sisanya
aja. Alhasil kami duduk berpencar. Perjalanan ke Magetan pun saya lalui dengan
tidur. Sempat kebangun beberapa kali akibat guncangan karena supirnya
ugal-ugalan. Gilak!
Noh, jarak Cemoro
Sewu ke kota-kota
4 jam kemudian kami sampai di Terminal Maospati. Untuk
menuju pos perizinan dari info kami dapat sebelumnya adalah naik bus / angkot
jurusan Tawangmangu, dan itu adanya jam 5 pagi. Jadi mau nggak mau kami harus
menunggu di terminal. Tapi fakta berkata lain. Begitu turun dari bus, kami
langsung dihampiri bapak-bapak yang menawari untuk mencarter mobilnya dengan
harga Rp 35K/orang. Harga segitu menyesuaikan berdasarkan jumlah orangnya. Saat
itu kami bertujuh (ada 2 orang pendaki lain yang join dari Surabaya). Sedangkan
kalau hanya 5 orang kebawah, harganya bisa 40K atau lebih.
Tiba saat sunrise!
Tiba di Cemoro Sewu, 2 pendaki yang join itu turun.
Sedangkan kami lanjut ke Cemara Kandang. Saya dibikin bingung saat bapak
sopirnya bilang ke Cemara Kandang jaraknya jauh, sekitar 30 km. Padahal setau
saya nggak sampai 1 km. Dan ternyata benar, kami dibohongi. Nggak sampai 1
menit, kami sampai di Cemoro Kandang. Hhm, sa ae si bapak iki. Saat turun, kami
berpikiran sama. Suasana di Cemara Kandang kok sepi banget, mana gelap.
Seketika kami setuju untuk balik ke Cemoro Sewu. Kami diketawain saat bertemu
dengan pendaki yang dari Surabaya. “Lho, kenapa balik lagi kesini mas?” katanya
sambil nyengir-nyengir. “Cemara Kandang tempatnya gelap mas, meragukan”, jawab
saya. Hahaha!
Begitu pos perizinan buka, kami langsung registrasi. Harga
tiket masuknya Rp 15K/orang. Sebelum mulai mendaki, tentunya kami isi perut
dulu. Supaya nggak loyo ketika mendaki. Betul betul betul?
masak-masaaak!
Pintu Gerbang Cemoro
Sewu
Perjalanan diawali dengan melewati trek berupa bebatuan yang
disusun sedemikian rupa. Treknya mirip seperti Arjuna – Welirang via Tretes.
Bedanya kalau ini lebih sempit. Batunya juga berukuran lebih kecil dan kadang
susunannya seperti membentuk tangga. Wajar sih, kalau di Tretes digunakan
sebagai jalur untuk Jeep pengangkut belerang. Di sebelah kanan kirinya dikelilingi
hutan cemara. Yah sesuai nama jalurnya, Cemoro Sewu (Seribu Pohon Cemara)
Sampai Pos 1, Wesen-wesen, medannya relatif tertutup oleh
pohon-pohon cemara yang tinggi. Namun selepas itu, vegetasinya mulai terbuka. Pendakian
kali ini kami mendaki selow banget. Jalan nyantai banget, sering ambil break. Bukan,
bukan fisik melemah karena jarang naik gunung lagi. Tapi karena kami ingin
lebih menikmati perjalanan. Naik gunung itu santai aja. Ngapain juga buru-buru.
Puncaknya nggak kemana-mana kok. Selagi mendaki mending lihat pemandangannya, bercanda
sama teman sependakian. Percayalah, naik gunung itu bukan cuma soal puncak. Menikmati
perjalanannya itu lebih berkesan.
Berangkat!
Pos 1 Wesen-wesen
Lawu via Cemoro Sewu ini ada keuntungannya untuk yang nggak
mau banyak-banyak bawa logistik atau nggak punya tenda. Dari 5 pos sepanjang
jalur pendakian, 3 diantaranya terdapat warung-warung yang menjual makanan
sekaligus bisa untuk menumpang tidur. Warung yang paling terkenal adalah Warung
Mbok Yem. Karena dia adalah orang pertama yang mempunyai ide untuk membuka
warung di Gunung Lawu. Letaknya malah berada di Hargo Dalem, yang hanya butuh
beberapa menit saja untuk ke Hargo Dumilah (Puncak Lawu). Hanya pos 3 dan 4
saja yang nggak ada warungnya. Buat yang pengen buka usaha. Mumpung kosong, bikin
aja warung di pos 3 atau 4!
Jalur Lawu ini mengingatkan saya ketika mendaki Arjuna. Selain
treknya yang mirip, puncaknya juga nggak kelihatan. Dari bawah terlihat sebuah
dataran yang kalau dibandingkan dengan yang lain, itu adalah yang paling
tinggi. Tapi saat mendaki dan berhasil sampai ke titik itu. Eh, ternyata ada
lagi yang lebih tinggi. Dan begitu seterusnya sampai beberapa kali. Diphp-in. Padahal dari pos 2 sampai pos 4 jalannya tangga lho. Tangga yang terbuat dari susunan batu. Apalagi saat mendekati pos 4, emh itu anak tangganya tinggi-tinggi. Joss banget. Huhu..
Bener kan naik tangga...
Tanjakan yang tiada
akhirnya
Mulai dari pos 3, cuaca mulai nggak bersahabat. Kabut tebal perlahan
mulai turun. Otomatis jarak pandang pun menipis. Beberapa kali air turun dari
langit. Hujan? Bukan! Itu hanya sugesti kalau kata Eko. Yah, memang benar. Air turun
bersamaan dengan kabut. Ketika kabut sudah lewat, ya udah berhenti. Tapi saat
tiba di pos 4. Langit udah gelap banget. “Ini mah mau hujan”, pikir saya dalam
hati. Saya langsung mengajak yang lain untuk mengenakan mantel.
Selagi berjalan menuju pos 5. Langit yang tadinya cuma gerimis,
tiba-tiba aja hujan deras disertai oleh GULUDUG. Petir! Noh kan turun. Untung
kami udah sedia mantel sebelum hujan. Saya heran saat melihat pendaki yang menjadikan
matras untuk melindunginya dari hujan. Apalagi yang hujan-hujanan. Mereka pikir
ini di pekarangan rumah, bisa hujan-hujanan gitu. Ini gunung, gan! Mana
ketinggiannya udah nyentuh 3000an mdpl. Kalau kehujanan nanti bajunya basah,
terus kedinginan. Bisa-bisa hypothermia. Kalau udah gitu mau gimana? Saya nggak
habis pikir, mereka naik gunung persiapannya apa sih? Udah tau mulai masuk musim
hujan. Tapi nggak ada antisipasi kalau di lapangan bakal hujan. Geleng-geleng
kepala deh saya lihat pendaki yang kayak gitu.
When the rain falls, i
turn become dementor :v
Lama-kelamaan hujan semakin deras. Mungkin bisa dibilang
badai. Sampai di pos 5, kami langsung berlindung masuk ke warung yang kondisinya
kosong. Yang punya nggak ada, barang-barangnya juga nggak ada. Dari pada
ngeluarin uang demi membeli semangkuk indomie kuah hangat di warung sebelah,
kami memilih memasak sendiri di dalam warung kosong tersebut. Kondisi warung
semakin padat saat rombongan pendaki lain mulai berdatangan. Beberapa pendaki
ikut merapat pada kami demi secuil kehangatan dari api kompor.
Ketika mie sudah siap, baru saja satu suap, tiba-tiba
terdengar suara teriakan bernada marah dari dekat pintu. “Siapa yang masak di
warung saya? Kalau mau masak di tenda sendiri saja jangan di sini! KELUAR!!!”
Kambing aja naikgunung, embeee
0 comments: