Mencari Pelangi Hingga ke Ujung Bukit Merisik
Di
ujung Bukit Merisik, kami tak mampu berdiri. Angin bertiup sangat kencang
membuat nyali kami ciut. Bukannya kenapa, saya takut diterbangkan ke laut oleh
angin. Mana ombaknya besar sampai-sampai suaranya begitu berisik. Kami tak lama
berada disitu, padahal pemandangan dari atas bukit itu sungguh cantik. Bahkan, sempat muncul samar-samar pelangi pada gulungan ombak.
Ini
adalah jalan-jalan terakhir saya selama 2 bulan di Lombok. Traveling yang
terpaksa saya lakukan akibat “kompor”nya Gumilang meledug. Saya sampai bela-belain
bolos magang. Perjalanan ini dilakukan karena Gumilang nggak puas saat ke Batu
Payung. Kali ini kami berencana untuk ngecamp di Tanjung Aan. Karena saya nggak
sempat untuk menyewa alat camp, saya kasih Gumilang kontak tempat penyewaannya.
Tapi ketika berangkat, saat dia datang ke kos untuk menjemput saya, ternyata
dia belum menyewa alat. Mana udah jam 10 malam. Penyewaannya juga paling udah
tutup. Soalnya ini Lombok cuy, jam 9 aja jalanan udah sepi. Alhasil kami hanya
berharap disana ada “beruga” sebagai tempat kami numpang tidur.
Dari
Mataram kami berangkat jam 10 malam menuju Tanjung Aan. Jalanan udah seperti
punya sendiri, sunyi senyap. Untungnya jalan di Lombok sebagian besar udah di
hotmix, sehingga kami bisa gaspol sepanjang perjalanan. Yah, meski motor vario
putih sewaan Gumilang hanya bisa melaju mentok di kecepatan 80km/jam. Memasuki
Kuta Pantai Lombok, suasana mulai agak ramai oleh bule-bule yang sedang asyik
party di bar. Biasa kehidupan malam bule kan begitu. Sebenernya pengen mampir, tapi
karena mata udah 5 watt, nggak jadi deh.
Kami
terus memacu motor hingga tiba diTanjung Aan. Sepi banget, nggak ada orang.
Udah nggak ada kehidupan. Warga lokal nggak ada, wisatawan apalagi. Yakali
siapa juga yang mau traveling malam-malam begini? Kecuali kami yang emang rada
gelo. Setelah memarkir motor, lalu kami mencari beruga untuk lapak kami tidur.
Tapi nggak ada! Untungnya ada beberapa kursi panjang yang agak lebar, dan ada
atap yang terbuat dari rumbia. Tak ada pilihan, kami menjadikan itu sebagai
singgasana untuk semalam.
Tempat bobo
Kursi
yang terbuat dari kayu itu saya lapisi dengan ponco supaya tidak lembab.
Gumilang malah memakai ponconya untuk dipakai tidur. Meski begitu, kami bisa tidur
cukup pulas. Hingga pada saat menjelang subuh, saya mendengar entah suara apa
tepat di depan saya. Karena kondisi gelap gulita, saya kembali memejamkan mata.
Tapi baru saja mencoba untuk tidur, tiba-tiba terdengar suara gonggongan anjing
yang sangat keras. Bukan cuma 1, mungkin ada sekitar 10 ekor anjing. Saya
refleks waspada dengan mengambil batu. Lalu saya bangunkan Gumilang. Dia pun
kaget tiba-tiba bisa ada anjing sebanyak itu. Penasaran dengan posisi anjingnya
dimana, saya menyalakan flash smartphone dan mulai menyenteri sekitar. Saya
terkejut ketika ada seekor anjing dengan tubuh lumayan besar sedang tertidur
beberapa meter di depan kami. Ternyata suara yang dari tadi saya dengar adalah
suara anjing ini. Tapi dia tidak menggonggong. Dia hanya diam seolah menjaga
atau menandai bahwa ada orang asing di wilayah mereka.
Semakin
lama, anjing-anjing lainnya semakin sering menggonggong seolah memperingati
kami. Saya jadi kepikiran, ada nggak ya anjing yang makan orang? Saat situasi
semakin mencekam, tiba-tiba saja anjing-anjing tersebut berlarian menjauh ke
suatu arah. Seperti ada yang memanggilnya. Mungkin dipanggil majikan mereka.
Melihat ada kesempatan kabur, kami buru-buru meninggalkan tempat itu dan harus
rela tidur kami berakhir. Saat mulai beranjak, saya baru sadar bahwa anjing
yang sedari tadi menjaga kami tidak ikut pergi bersama anjing-anjing lainnya.
Untungnya anjing yang satu ini tidak menggonggong atau mengejar kami. Huft..
bobo cantik yaa anying.
Kemudian kami langsung mendaki Bukit Merisik. Warna merah
yang samar-samar mulai nampak di langit yang masih gelap. Kami terduduk dan terpukau
saat menengadah ke langit. Langit begitu bersih dan penuh oleh taburan bintang.
Sambil menunggu sunrise, saya ambil posisi selonjoran dan diiringi dengan alunan
musik.
Taburan
bintang
Setelah langit mulai terang, saya baru menyadari kalau Bukit
Merisik ini panjang banget. Saya mendaki belum seperempatnya. Ujung bukitnya malah
nggak kelihatan. Udah jauh-jauh pergi dan digonggongi anjing pula, sayang
banget kan kalau nggak berjalan-jalan sampai ke ujung bukit. Mumpung masih
pagi, masih semangat. Udara segar. Sinar matahari juga lagi sehat-sehatnya.
Golden
Sunrise
Pemandangannya benar-benar memanjakan mata. Bukit yang
berundak-undak seperti punuk unta terhampar di depan saya menanti untuk didaki.
Pantai-pantai berjejer di sebelah barat dan timur. Sedangkan, di selatan adalah
lautan samudra yang sangat luas. Saat mendekati ujung bukit, terdapat sebuah
pantai kecil yang terlihat sangat cantik dari atas bukit. Wow, I’m speechless with
that view! Susah untuk digambarkan dengan kata-kata. Rasanya seperti nge-fly
ketika melihat indahnya ciptaan Tuhan ini.
Bukit
Merisik
Pantai Berisik *saya yg namain :p
Lalu kami turun ke pantai kecil tak bernama tersebut. Pasirnya
putih dan sangat halus seperti bedak bayi. Asyik rasanya leyeh-leyeh tiduran
disana. Pantainya bersih, meski ada sedikit sampah yang sepertinya terbawa oleh
ombak. Saya menamai pantai ini dengan Pantai Berisik. Ombaknya yang besar
membuat suara-suara yang gaduh. Apalagi saat ombak menghantam batu karang.
Wusssh.. airnya terlempar ke udara dan menjadi waterblow. Keren! Tapi jangan
coba-coba mendekat kalau nggak mau ketarik ombaknya.
Tuh
ombaknya dueresss
Ombak
sama awan gak ada bedanya
Kami nggak bisa berlama-lama disana. Kami akan lanjut ke
ujung bukit dan pulang ke Mataram setelahnya. Dari pantai, hanya perlu mendaki
sekitar 5 menit untuk sampai ke ujung bukit. Ada sensasi yang berbeda saat
berdiri disana, merinding takut jatuh! Ya, anginnya kuencaaang. Saya sadar
kalau saya krempeng, jadi takut terbawa angin. Alhasil saya menikmati sejenak
pemandangannya sambil terduduk. Dan tiba-tiba saja.. Pelangi! Saya melihat
pelangi. Bukan pelangi yang muncul setelah hujan, karena saat itu nggak hujan. Tapi
pelangi yang muncul pada gulungan ombak. Unik! Pelangi itu muncul setiap kali ombak
bergulung. Sungguh moment yang langka. Sayangnya saya nggak bisa
mengabadikannya pada lensa kamera. Maklum, kamera nggak mendukung.
Yeay! At the end of
Merisik Hill
Di punggungan bukit di sisi lainnya, saya melihat gerombolan
anjing (yang menggonggongi kami sebelumnya) sedang berlarian mengejar kera! Sepertinya
anjing-anjing itu sedang menjadikan kera sebagai mangsanya. Huft.. saya jadi lega
saat mengingat kejadian digonggongi anjing waktu subuh. Ternyata anjing emang
nggak makan orang, tapi makan monyet. Hehehe..
Sebelum pulang ke Mataram, kami sempat bertemu dengan teman
Gumilang di Tanjung Aan. Untuk sekedar mengobrol dan mencicipi Kopi Lombok. Entah
apa bedanya Kopi Lombok dengan kopi-kopi lainnya. Lidah saya bukanlah lidah
penikmat kopi. Lidah saya hanya bisa merasakan 2 rasa. Enak dan enak banget. Itu
saja. Hehe!
Kopi Lombok
Bonus, Si Anying
Dari atas bukit merapin ini pemandangannya memang indah sekali. Unik dari gunung langsung bertemu dengan laut. Dayang Angin yang kencang, kau tidak akan bisa berlama-lama ya Mas
BalasHapusiya mbak bikin betah berlama-lama :))
Hapusterima kasih sudah mampir