Subuh-subuh Nyari Sunrise ke Batu Payung
Lombok memang punya sejuta keindahan alam yang tiada duanya.
Sampai-sampai ada film yang dengan judul “Jangan ke Lombok, nanti gak mau
pulang”. Saya sendiri merasakan hal itu. Namun surga-surganya Lombok terkadang
berada dilokasi yang sulit dijangkau. Apalagi pulau seribu masjid ini minim
angkutan umun. Cara paling efektif adalah dengan menyewa sepeda motor. Tarifnya
rata-rata sekitar 60k – 75k per hari.
Yang bikin saya watir di Lombok ini soal keamanannya,
katanya sih masih rawan begal. Apalagi daerah selain Mataram, seperti Lombok
Timur, Lombok Tengah, dll. Padahal banyak destinasi menarik, Pantai Tangsi
(Pantai Pink) di Lombok Timur atau Tanjung Aan di Lombok Tengah misalnya. Peristiwa
pembegalan di Lombok ini udah nggak asing di telinga saya, entah itu langsung
dari penuturan orang Lombok sendiri maupun dari berita. Yang bahkan dilakukan
di siang hari! Waduh.
Saya sendiri selama di Lombok cari aman aja dengan traveling
ke destinasi yang istilahnya mainstream dan dilakukan pada waktu-waktu normal
(pagi / siang hari). Hingga akhirnya saya berani mengambil resiko dan keluar
dari zona aman dengan traveling ke Pantai Batu Payung yang berada di Lombok
Tengah dan berangkat pada dini hari demi mengejar sunrise!
Ini berawal dari ajakan seorang teman yang sedang berada di
Lombok, Gumilang namanya. Karena datang untuk urusan pekerjaan, dia hanya punya
waktu mulai sore sampai jam 9 pagi. Menggunakan sepeda motor sewaan dari hotel Gumilang
menginap, kami berangkat pada pukul setengah 4 pagi. Gumilang langsung
menggeber motor dari awal perjalanan. Meskipun rada watir bakal ketemu hal tak
diinginkan, saya hanya berpikir positif saja. Gumilang sendiri sebelumnya
pernah melakukan hal seperti ini dan dia lakukan seorang diri! Nggak ada
takutnya emang orang Banyuwangi ini, kalau ada apa-apa ya tinggal santet!
Melalui jalan by pass yang mulus kami meng-gaspol motor ditengah
kegelapan dan dinginnya malam. Tak ada siapapun selain kami di jalanan yang
juga searah ke Bandara Internasional Lombok (BIL) tersebut. Sialnya, motor yang
kami tumpangi ini nggak bisa ‘lari’, meskipun udah di-gaspol motor vario putih itu
kecepatannya mentok di 80 km/jam.
Untuk menuju ke Pantai Batu Payung bisa mengikuti jalan ke
Kuta Lombok yang terkenal itu. Seingat Gumilang, nggak jauh setelah melewati pertigaan
yang terdapat plang menuju Kuta Lombok, terdapat Indom*ret. Nggak sampai 5
menit harusnya udah sampai. Tapi saat itu, kami nggak menemukannya. Malah jalan
yang kami lalui semakin sepi dan gelap tanpa adanya penerangan lampu jalan. Hingga
akhirnya Gumilang merasakan kejanggalan karena tak kunjung sampai.
Usut punya usut, ternyata kami nyasar! Meski salah jalan
Gumilang nggak asing dengan daerah itu, karena ternyata dulu dia juga pernah
nyasar ke tempat yang sama! Sampai-sampai dia berkata, “Haduh, bisa-bisanya jatuh
di lubang sama”. Setelah mengecek dengan google maps, kami benar-benar berbeda
arah dengan tujuan kami. “Lain kali mending ngandalin google maps aja deh dari pada
jatuh di lubang yang sama”, tambah Gumilang. Ayo sekali lagi dapat piring
cantik, bro! Hahaha!
Kami putar balik melewati jalan sebelumnya. Tapi karena
google maps mencari rute tercepat, kami diarahkan melewati jalan pintas yang
langsung menuju Tanjung Aan tanpa lewat Pantai Kuta. Sialnya, jalannya adalah
jalan makadam. Mana kanan – kirinya pepohonan dan rumput-rumput yang tinggi. Kalau
tiba-tiba disergap sesuatu kan susah kaburnya. Tapi pada akhirnya kami sampai
di Batu Payung tanpa terjadi hal-hal yang buruk. Cuma nyasar itu doang. Yah itupun
bagian dari perjalanan. Tiba di Batu Payung kami masuk gratis karena yang jaga
belum bangun. Hehehe!
Lalu kami memarkir motor di sebuah warung yang pemiliknya
seorang ibu-ibu yang sedang mempersiapkan dagangannya. Kami ngopi cantiks dulu
setelah perjalanan yang menegangkan. Si ibu ini punya peliharaan yang beragam,
mulai dari Kambing, Anjing hingga monyet berbaur satu sama lain. Anjingnya yang
masih kecil menghampiri saya seolah meminta makanan. Karena saya hanya bawa
sebungkus biskut dan chiki, saya kasih deh beberapa keping chiki. Eh dimakan.
Mana bunyi kunyahannya udah kayak orang, lebih keras malah. Kres kres kres,
gitu.
Setelah kopi habis dan shalat subuh. Kami menuju Batu Payung
dengan melewati sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Baru saja beberapa
langkah meninggalkan warung, beberapa anjing menggonggongi kami. Maklum, bau
kami bau orang asing. Wajar kalau anjing-anjing itu langsung bereaksi.
Untungnya mereka tidak mengejar / mengikuti kami, seolah hanya memberi
peringatan atau mungkin sebuah ucapan selamat datang(?).
Sesuatu banget kan
yah
Meski nggak tinggi-tinggi amat, mendaki bukit ini cukup
menguras tenaga. Mana saya pakai celana jeans, benar-benar nggak nyaman dipakai
untuk hal seperti ini. Nggak sampai 10 menit, kami sudah sampai di puncak
bukit. Panorama dari sana sungguh mempesona. Di selatan terhampar samudra yang
luas, di barat dan timur berjejer pantai dan di kejauhan sebelah utara menjulang
dengan gagahnya Gunung Rinjani. Kami bersantai sejenak di puncak bukit sambil
menunggu sunrise.
Menanti sunrise
Oh Rinjani…
Hhm
Kemudian kami menuruni bukit untuk menuju Batu Payung. Di
perjalanan turun, saya melihat banyak banget jaring laba-laba di rumput. Seolah-olah
bukit ini jarang dilalui manusia. Selain itu ada juga kotoran sapi. Yang bikin
saya rada heran, bukan tainya, tapi letaknya itu lho bisa berada di titik yang kemiringannya
agak terjal untuk ukuran sapi. Gimana caranya mereka naik bukit? Wong saya naik
aja kadang butuh bantuan tangan. Lalu yang membuat saya berpikir keras, apa
hubungan tai sapi dengan jaring laba-laba? Apakah laba-laba menjadikan sapi
sebagai mangsanya dengan menjerat menggunakan jaring atau sapi di sana
karnivora yang memakan laba-laba? Entahlah, nevermind!
Tuh jaring laba-laba
dimana-mana
Begitu sampai di Batu Payung, kami kegirangan. Inginnya sih
segera foto-foto, tapi nahasnya kami sama-sama mules. Alhasil masing-masing mencari
lapak untuk boker. Saya ke arah barat kembali naik bukit mencari semak-semak.
Sedangkan Gumilang ke arah sebaliknya. Setelah panggilan alam terpenuhi kami
kembali bertemu di Batu Payung. Gumilang berkata, “Maeng iku pengalaman ngising
terbaik seumur hidup!” Saya setuju! Gimana nggak coba? Boker sambil memandangi panorama
yang luar biasa indah, plus di waktu sunrise. Beuh sempurna! Hahaha!
Ngomong-ngomong Batu Payung ini adalah sebuah batu berukuran
besar dan terdapat bagian yang dapat memayungi dari panas atau hujan jika
berada dibawahnya. Jadi jangan bayangkan batunya benar-benar berbentuk payung. Nggak
gitu! Lebih enaknya langsung aja lihat pada hasil jepretan saya yah atau cari
aja di google banyak.
Batu Payung
Banyak gaya memang :v
Pagi itu air di sekitarnya begitu tenang, asik untuk
renang-renang santai. Snorkeling juga bisa karena biota lautnya cukup beragam.
Mulai dari ikan-ikan kecil, terumbu karang hingga bintang laut saya temui di
sana. Sayangnya karena Gumilang harus cepat kembali ke Mataram, kami melewatkan
kesempatan itu.
Dari pengalaman ini, saya jadi paham kalau melakukan sesuatu
dengan berani mengambil resiko itu kadar kepuasannya berlebih ketika telah berhasil
melakukannya. Begitu juga dalam traveling. Coba saja jika saya ke Batu Payung
di waktu-waktu normal. Selain panas, mungkin bakal banyak orang juga. Dan yang
paling utama, pengalaman boker terbaik seumur hidup itu tak akan pernah
terjadi. Iya kan? :v
Nyari spongebob sama
patrick
View dari atas bukit
0 comments: