Menyelisik Kehidupan di Gili Trawangan
Jika berlibur ke Lombok,
kebanyakan orang pasti akan memilih Gili Trawangan atau mendaki Gunung Rinjani.
Memang benar, dulu saya juga berpikiran begitu. Karena 2 tempat itu adalah
sesuatu yang Lombok banget. Namanya sudah menggema ke seluruh dunia.
Orang-orang yang yang habis dari RInjani biasanya selalu menyempatkan mampir
dulu ke Gili Trawangan. Alasannya sama, udah jauh-jauh ke Lombok, mending
sekalian aja. Kapan lagi kan ya?
Beberapa minggu yang lalu saya
juga habis dari sana, tepatnya tanggal 31 Juli – 1 Agustus lalu. Mengobati rasa
penasaran. Masih bersama Saifud, Yogi dan juga Ari (adiknya Yogi). Kami berencana
bermalam di sana, karena menurut penuturan Yogi, di Gili Trawangan bakal terasa
beda saat malam hari. Tapi kami mau pilih cara yang hemat dengan camping. Sebenarnya
banyak homestay murah dengan harga 100k/malam. Tapi tetep kan lebih hemat
ngecamp. Cukup dengan modal sewa tenda seharga 30k/hari. Itu pun dibagi empat
mbayarnya. Jauh lebih hemat! Yah meskipun itu jauh dari kata nyaman. Tapi yang
namanya backpacking nggak memprioriskan kenyamanan.
Untuk menuju Gili Trawangan, harus
ke Bangsal terlebih dahulu. Di sana merupakan tempat penyebrangan menuju 3 gili
(Trawangan, Meno dan Air). Ada 2 jenis kapal yang bisa digunakan. Fast boat dan
Public boat. Untuk public boat, sistemnya beli tiket, lalu menunggu kapal penuh
dulu baru berangkat. Harganya ditarif 15k/orang. Sedangkan kalau fast boat, begitu
bayar tanpa babibu langsung berangkat. Tapi ya berat di dompet. Toh, kalau naik
public boat juga paling lama 45 menit udah sampai. Buat kami yang nyari hemat
ya nggak ada opsi untuk naik fast boat. Oya, kalau bawa kendaraan pribadi,
banyak kok tempat penitipan di sekitar bangsal yang dihitung per hari.
Tarif Public Boat
Kek gini nih dalam
boatnya
Setelah menyebrang laut sekitar 30
menit, akhirnya saya menginjakkan kaki di Gili Trawangan. Tulisan Trawangan
yang berukuran besar menjadi magnet saat pertama kali terlihat ketika masih
berada di kapal. Kemudian kami mulai berjalan mengelilingi pulau. Jauh seperti
yang saya bayangkan, Gili Trawangan ini di sekeliling pulaunya berjejer café,
resort, restoran, operator diving hingga tour organizer. Hanya pulau di sisi
timur dan utara yang masih alami alias belum dibikin tempat seperti itu. Itu
pun cuma di beberapa titik. Entah untuk beberapa tahun ke depan, mungkin
seluruh sisi pulau nggak ada lagi pantai netral.
Gini suasananya
Sesuai hasil riset saya dari
internet, di Gili Trawangan memang tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan
bermotor. Selain berjalan kaki, wisatawan bisa menyewa sepeda ontel seharga
50K/hari. Kalau mau enak naik cidomo (delman) aja dengan harga 100K++ yang bisa
ditumpangi 3 – 4 orang. Kalau pun ada motor, itu adalah motor listrik yang
digunakan oleh sebagian pribumi di sana. Jumlahnya pun nggak banyak. Gimana
dengan kami? Tentu saja kami jalan kaki. Apalagi yang gratisan selain itu?
Bule semua
Yang unik adalah kami yang orang
Indonesia, yang notabene adalah tuan rumah, malah berasa jadi turis asing di
sana. Beneran. Mayoritas wisatawannya adalah orang luar negeri. Meski ada juga
orang lokal, tapi hanya segelintir yang saya temui (pengecualian untuk pribumi
di sana ya). Yang bikin saya heran, ketika kami sedang menikmati perjalanan
sambil lihat kanan kiri, ada seorang bule yang dengan lancarnya ngomong Bahasa Indonesia.
Awalnya saya kira itu emang orang Indonesia yang ngomong, begitu di perhatikan
lagi, eh ternyata beneran bule. Gilaaa, udah berapa lama itu bule ada di
Trawangan sampai bisa-bisanya dia ngomong begitu fasihnya, atau jangan-jangan
dia lahir di sana.
Kehidupan di Trawangan memang
bisa dibilang sudah bercampur antara orang lokal dan wisatawan mancanegaranya. Bukan
cuma peristiwa bule ngomong bahasa kita, banyak juga resort-resort yang
pemiliknya adalah bule atau restoran yang menjual makanan dan minumannya dengan
mata uang dollar. Menarik bukan? Menarik isi dompet maskudnya.
Semakin kami melangkah ke utara,
lalu ke timur, suasananya jadi semakin sepi. Pusat keramaian sepertinya memang
berada di sisi pulau bagian barat, titik terdekat ke dermaga. Untuk yang nggak
suka keramaian, mlipir saja ke arah timur / utara. Meskipun emang suasananya
sepi, home stay dan restoran ada kok. Tapi paling cocok untuk yang mau ngecamp
seperti kami ini. Karena udah nggak memungkinkan mendirikan tenda di bagian
barat. Masa iya mau ngecamp di depan café, kenapa nggak di dalemnya aja
sekalian.
No polusi!
Kami berhenti berjalan ketika
sampai di sebuah tempat bernama Ombak Sunset. Kalau pernah lihat orang foto main
ayunan di pinggir pantai, ya itulah tempatnya. Ombak sunset sendiri adalah nama
sebuah hotel yang dengan cerdiknya menarik perhatian orang dengan cara unik
tersebut. Apalagi di situ merupakan spot sunset. Aah, suasana romantisnya ngena
banget kalau berada di sana. Sambil menunggu momen matahari tenggelam tiba,
kami main gapleh!
gaplehan
Ombak sunset
Ketika matahari sudah kembali ke
peraduannya, kami kembali berjalan ke pulau bagian barat untuk makan malam.
Saya mengajak yang lain untuk makan di pasar seni. Sebuah tempat lapang (nggak
luas-luas amat kek lapangan juga sih) yang setiap malam pedagang makanan akan
menggelar warungnya di sana. Di situlah satu-satunya tempat makan yang waras
bagi saya. Dengan 20K (masih termasuk mahal sih buat dompet haha) saya bisa
makan dengan kenyang dan tanpa penyesalan. Karena daripada makan di restoran
yang tentunya bakal menguras dompet saya yang udah tipis ini.
Yang bikin saya kesel, entah cuma
ke kami doang atau nggak, mas-mas penjual makanannya seperti mengesampingkan
kami. Mereka terlihat lebih ramah saat melayani bule daripada kami. Ketika
sudah pesan makan, kami bingung karena kursinya penuh. Kami bertanya pada
mereka apa ada tempat yang bisa kami gunakan, namun mereka terkesan cuek dan hanya
bilang “iya mas nanti dicariin”. Setelah berdiri lebih dari 5 menit, kami di antar
duduk di tempat yang bukan ‘lapak’-nya. Begitu ia pergi, baru saja kami mau
duduk datang sang empunya lapak dan bilang kalau nggak boleh duduk di situ.
Karena tiap warung punya lapaknya masing-masing. Wtf! Udah terlanjur naik pitam
dan malas berurusan dengan mereka lagi, kami cari tempat sendiri dan dapatlah sebuah
kursi yang menghadap persis di depan kuda. Bodo amat, yang penting kenyang dah!
Pasar seni, rame
kalau malam
Sehabis makan, kami kembali ke
tempat yang sepi untuk mendirikan tenda. Saat menemukan lapak yang cukup sepi,
saya bertanya ke orang yang sedang asyik bernyanyi sambil bermain gitar, “Mas,
boleh diriin tenda disini nggak ya?” Salah satu dari mereka menjawab, “Saya
juga nggak tau mas, kita juga rencana mau ngecamp disini.” Saya kira mereka
warga asli sini, saat ditanya darimana, eh ternyata urang Bogor. Jadilah kami
ngobrol pakai Basa Sunda. Btw, mereka adalah anak vespa yang baru turun dari
Rinjani. Yang keren, dari Bogor mereka ke Lombok naik vespa. Berapa lama
perjalanan? Seminggu! Tapi seminggu itu mereka berhenti di beberepa kota untuk
menghadiri gathering katanya. Kemudian kami mendirikan tenda secara
berdampingan.
Begitu selesai mendirikan tenda, Saifud
dan Ari memilih untuk tidur. Sedangkan saya, Yogi dan orang Bogor mencari
masjid untuk menunaikan ibadah shalat. Saya sendiri punya misi khusus, yaitu
menuntaskan panggilan alam yang sedari tadi ditahan. Heu..
suasana yang familiar
ga boleh pakai bikini
Untuk ke masjid, harus masuk ke bagian
dalam pulaunya. Tempat orang-orang pribumi tinggal dan juga homestay yang
kelihatannya murah banyak ternyata. Yang bikin saya antara heran dan takjub, saat
membandingkan bagian luar pulau / pinggir pantai sesak oleh berbagai tempat
hiburan seperti café, bar dan karaoke. Tiap tempat sangat berisik karena
menyetel musik dengan keras. Apalagi tempat-tempat tersebut di penuhi oleh bule
yang menguatkan kesan kalau saya bukan lagi di Indonesia, kami seperti
minoritas. Namun, begitu masuk rada ke dalam pulau (ya sekitar 100m lah),
suasananya berubah drastis. Saya sangat familiar karena kesan Indonesianya
dapat banget. Kalau di pinggir pantai denger musik reggae, saat ke tempat
pribumi saya mendengar suara orang ngaji. Sungguh perbedaan yang jauh yang hanya
dipisahkan jarak 100m.
Hebatnya, orang pribumi di
Trawangan sepertinya tidak merasa terganggu dengan kondisi yang seperti itu.
Mungkin mereka juga mengerti. Dengan kondisi seperti itu, mereka bisa memenuhi
kebutuhannya dengan membuka usaha atau pun bekerja di tempat-tempat tersebut.
Btw, hasil dari obrolan-obrolan bersama warga pribumi, kalau harga tanah di
Gili Trawangan dibandrol Rp. 100 juta/1m. Beuh. Mangga kalau punya banyak duit
bisa berinvestasi dengan buka usaha di Trawangan. Buka rental PS barangkali?
Tariiik mang
Rasanya heman, udah jauh-jauh ke
Gili Trawangan kalau cuma numpang tidur doang. Sekedar ingin menikmati malam,
saya dan Yogi berjalan berkeliling nyari yang aneh. Kami pun berhenti di sebuah
bar bernama “sama-sama reggae”. Mungkin ada yang pernah ke situ? Sesuai
namanya, di situ lagu yang dibawakan reggae semua. Tepat di depan panggung, turis
lokal maupun turis asing campur aduk dan joget bareng. Tapi saya nggak ikut
joget, cuma nyanyi doang (padahal lagunya aja nggak hapal). Nggak kerasa, kami
berada di situ sampai jam 12++. Karena udah capek joget, eh bukan, capek nyanyi,
kami kembali ke tenda dan bergabung dengan Saifud yang udah pergi ke alam
mimpi.
Paginya ketika matahari belum
terbit, saya bangun dan jalan-jalan pagi sekedar mencari momen sunrise. Meninggalkan
yang lain yang masih tertidur pulas. Saya berjalan hingga ke dermaga, spot yang
katanya bagus untuk melihat sunrise. Nggak banyak orang yang mencari momen
sunrise, mungkin masih pada kecapekan akibat joget semalaman.
Setelah menikmati sunrise, saya
kembali ke tenda dan leyeh-leyeh sebentar sambil menonton orang yang lagi
sufing. Tertantang rasanya diri ini ketika melihat orang dengan asyiknya
berselancar di atas gulungan ombak. Namun apa daya saya belum berani. Kan katanya
kalau mau surfing harus lancar berenang, soalnya mainnya rada ke tengah laut,
nggak di deket pantai. Lah saya? Lupakan.
Saat waktu menunjukkan jam 9, saya
kembali ke Lombok dengan berat hati.
Ehem, kapan bisa gini
Salut sama bule ini, sukarela ngumpulin sampah
0 comments: