Solo Hiking, Nggak Benar-benar Sendiri
Naik gunung adalah hal yang menyenangkan, apalagi kalau bareng teman. Tapi, gimana kalau mendaki sendirian alias Solo Hiking. Rasa-rasanya kalau mendaki seorang diri mengkhawatirkan juga. Alasannya karena kalau saat mendaki tiba-tiba mengalami kejadian buruk siapa yang mau nolongin?
Awalnya saya
nggak pernah kepikiran dan nggak ada keinginan untuk naik gunung sendirian.
Tapi sampai saat ini, saya udah 2 kali melakukan pendakian seorang diri. Yang
pertama saya lakukan di Gunung Panderman, Malang. Lalu yang kedua adalah gunung
yang ada di belakang rumah saya, Gunung Ciremai.
Entah apa yang
ada di pikiran ketika memutuskan untuk melakukan solo hiking. Mungkin gara-gara
nonton film Wild dan Into The Wild. Film yang mengisahkan seseorang dalam
melakukan perjalanan ke alam bebas sendirian. Tapi, meskipun namanya solo
hiking, toh saat di TKP nggak bener-bener sendirian kok. Karena di perjalanan
bakal ketemu pendaki lain juga (kalau ada). Itu yang bikin saya memberanikan
diri untuk melakukan pendakian seorang diri. Dan itu terbukti pada 2 pendakian
solo tersebut.
Saya memilih
Gunung Panderman sebagai tujuan solo hiking pertama saya karena gunung ini
nggak terlalu berat medannya. Sehingga resiko terjadinya kenapa-kenapa nggak
terlalu besar. Selain itu, waktu tempuhnya juga cukup 2 – 3 jam saja mendaki
dengan ritme yang santai.
Dari kostan saya
menggeber motor ke kota Batu, letak Gunung Panderman berada. Setibanya di
basecamp, sudah ada pendaki yang duluan naik, terlihat dari adanya beberapa
motor di sana. Nggak lama setelah saya juga datang segerombolan pendaki. Salah
satu dari mereka menyapa saya.
Pendaki:
“Darimana mas?”
Saya: “Saya dari
Malang mas.”
Pendaki: “Rombongannya
berapa orang mas? Rame banget ya.”
Saya: “Saya
sendirian mas. Saya bukan rombongan mereka.”
Pendaki: “Wah
sama dong, saya juga sendirian.”
Saya: “Seriusan?
Bareng aja kalau gitu mas.”
Pendaki: “Oke.
Kenalin dulu. Saya Juned.”
Saya: “Saya
Ilham.” Sambil jabat tangan.
Setelah perkenalan
singkat tersebut, kami langsung mengurus simaksi dan mulai mendaki. Sepanjang perjalanan,
kami banyak mengobrol obrolan-obrolan random yang ngalor-ngidul. Dia bertanya
pada saya, apa alasan naik gunung sendirian, “Kenapa naik sendirian, Ham? Lagi
galau kah?” Saya tertawa ketika mendengarnya. Emangnya ada yang saya galaukan. “Nggak
kok. Lagi jenuh sama suasana kota, jadi pengen menyendiri aja.” jawab saya. Jawaban
Juned juga sama ketika saya kembalikan pertanyaannya. Dia bilang, dia sedang
jenuh dengan aktivitas kuliah. Bedanya dia sempat mengajak beberapa temannya. Namun
karena berhalangan, akhirnya dia mendaki sendiri.
Sedangkan pengalaman
solo hiking kedua saya terjadi di Gunung Ciremai. Waktu itu saya naik via jalur
Palutungan. Sebenarnya dari rumah lebih dekat ke Linggajati, tapi saya nggak
mau. Angkat tangan sama jalur itu, nggak kuku. Biarpun udah berkali-kali
mendaki Ciremai, semuanya lewat Linggajati. Belum pernah sama sekali lewat
Palutungan. Meski nggak familiar sama jalurnya, apalagi sendirian, saya tetap
yakin pendakian ini bakal lancar.
Nggak seperti di
Panderman yang dari awal mula udah ketemu orang untuk diajak barengan, saya benar-benar
sendirian saat meninggalkan basecamp. Tapi saya yakin, diatas pasti udah banyak
pendaki. Soalnya saya mendaki di akhir bulan Juli, yang merupakan musimnya naik
gunung. Lagi ramai-ramainya. Benar saja. Saat saya sampai di Pos Cigowong, udah
banyak pendaki yang mendirikan tenda atau sekedar istirahat.
Selepas Cigowong
ini, saya mulai sering berpapasan dengan rombongan pendaki lain. Entah itu yang
turun atau yang sedang perjalanan naik juga. Kalau papasan saat sambil
berjalan, biasanya cuma sekedar nyapa aja. Nah, kalau papasannya waktu lagi
sama-sama istirahat di tanah yang datar, selain nyapa, pastinya ada
obrolan-obrolan singkat. Rata-rata dimulai dengan pertanyaan “darimana” atau “rombongannya
berapa orang”. Ketika saya menjawab pertanyaan kedua dengan jawaban “sendirian
aja kang/teh”, respon mereka beragam. Seperti “kok berani kang sendirian?”, “wah,
mantap kang” atau ada juga yang nggak percaya dan bilang “serius kang? Masa
sendirian?” Lain lagi dengan respon Teteh-teteh yang sambil membandingkan
dengan temannya laki-lakinya, “Tuh, yang kayak gini nih baru laki.” Terakhir ada yang merespon dengan balik
bertanya, “Kenapa kang kok sendiri? Nggak ada temen nanjak atau emang pengen
sendiri? Atau jangan-jangan jomblo?” Aduhh sembarangan ini orang, tahu aja saya
jomblo.
Kebanyakan pendaki
yang berpapasan dengan saya cuma ketemu sekali. Tapi seenggaknya ada 2
rombongan pendaki yang sepanjang pendakian kami sering kali berpapasan karena
saling salip-menyalip. Yang pertama Daweng bersama 4 orang temannya yang
berasal dari Cilegon. Kedua, Firman dan 2 temannya dari Indramayu. Bahkan sampai
sekarang, saya masih keep in touch dengan mereka. Khusus dengan rombongannya Daweng,
mereka malah mengajak saya untuk ngecamp bareng. Awalnya kami hanya sekedar
saling salip, lama-kelamaan kami sering istirahat bareng di waktu yang
bersamaan. Nah saat itulah mereka ngajak ngecamp bareng. Malah dengan sukarela,
salah satu dari mereka menawarkan untuk membawakan carier saya yang segede
gaban itu. Orang baik memang bisa ditemukan dimana saja. Bersyukur saya bertemu
dengan mereka.
Ketika matahari
mulai kembali ke peraduannya, kami masih mendaki ke Pos Goa Walet, tujuan kami
mendirikan tenda. Namun, saat mendengar kabar dari pendaki yang turun kalau di
Goa Walet penuh, Daweng dkk, memutuskan untuk gelar tenda di tanah datar yang
kami temukan di perjalanan. Karena kemungkinan di Goa Walet nggak kebagian
lapak. Disitulah kami berpisah, karena saya tetap melanjutkan ke Goa Walet.
Sebenarnya watir nggak dapat lapak juga. Tapi karena rencana saya akan pulang
via Linggajati, gelar tenda di tempat yang lebih dekat dengan puncak lebih baik
pikir saya. Biar sekalian capeknya. Saya pun berpisah dengan mereka.
Masih di
perjalanan menuju Goa Walet, saya bertemu dengan Firman yang sedang mendirikan
tenda di tanah datar yang luasnya cukup untuk 2 tenda. Dia menawarkan saya
untuk gelar tenda di sampingnya. Tapi tetep, saya mau mencoba peruntungan di
Goa Walet.
Saat hari sudah
gelap, saya baru sampai di Goa Walet. Dan benar apa kata orang-orang, Goa Walet
ramai banget. Udah kayak pasar malam dadakan. Kemudian saya mblusuk ke sisa
lapak di antara tenda para pendaki. Siapa tahu cukup untuk 1 tenda. Namun
setelah saya muter-muter, nggak ada lapak tersisa. Ketika sedang bingung, saya melihat
2 orang pendaki yang clingak-clinguk seperti sedang mencari lapak juga. Lalu
saya bertanya pada mereka. Ternyata bukan, mereka sedang mencari temannya yang
sudah duluan ke Goa Walet. Dari mereka pula saya dapat info kalau di dalam
goanya terdapat lapak kosong. Saya pun buru-buru ke TKP. Dan bingo! Apa yang
dibilang mereka benar, ada sebidang tanah yang cukup untuk gelar sebuah tenda.
Nuhun, mang!
Bareng si Daweng
Esoknya saat
sudah di puncak, saya kembali bertemu dengan Daweng. Tapi, hanya 1 ada orang
temannya di situ. Sedangkan 3 orang lainnya tidak ikut muncak. Setelah ngobrol-ngobrol
sebentar dan fotbar, saya lanjut mengitari puncak untuk turun via Linggajati.
Di perjalanan
turun menuju Pangasinan, lagi asik lari-larian, dari kejauhan saya melihat
orang yang familiar bagi saya. Ketika dia memanggil, saya baru sadar kalau itu Anyuh.
Tetangga sekaligus teman dekat kakak saya. Dia mendaki bareng Mod (senior saya
waktu SISPALA) dan beberapa temannya yang lain. Saya pun pulang bareng mereka.
Sampai rumah malah. Yaiyalah, tetanggaan.
Masak di pinggir kawah
Meski namanya
Solo Hiking atau Naik Gunung Sendirian, nggak benar-benar sendiri. Saya
manusia, makhluk sosial yang pada hakikatnya butuh interaksi antar sesamanya. Seperti
dari kedua pengalaman saya tersebut, saya selalu bertemu orang baru. Bahkan
ketemu tetangga. Pada akhirnya, naik gunung sendirian ini hanya saat berangkat
dari rumah saja. Karena begitu udah di gunung, saya nggak bakal bener-bener
sendiri. Kecuali kalau emang di gunung tersebut cuma saya seorang yang mendaki.
Eh, tapi nggak juga sih, karena ada kamu yang selalu ada di hati. Ehm.
0 comments: