Momen Ngenes Ketika Naik Gunung
Meski udah
sering naik gunung, bukannya saya mulus-mulus aja waktu di perjalanan.
Terkadang, ada aja kejadian mengenaskan yang menimpa saya. Kejadian yang bikin
pendakian jadi nggak nyaman. Sampai-sampai bisa membahayakan diri sendiri. Hal
itu gara-gara kelalaian saya dan teman saat menyiapkan keperluan pendakian.
Berikut adalah momen-momen ngenes yang menimpa saya ketika mendaki gunung:
Sepatu yang kekecilan
Waktu naik
gunung, kalau bisa, wajib malah, semua yang dipakai harus nyaman dipakai. Salah
satunya sepatu. Poin pertama, usahakan pakai sepatu khusus naik gunung atau
biasanya disebut sepatu trekking. Kedua, ini yang penting, pastikan ukuran
sepatunya lebih besar satu nomor dari ukuran kaki. Ngepas aja nggak nyaman,
apalagi kekecilan. Itu yang pernah saya alami beberapa kali.
Saat belum mampu
beli sepatu sendiri, tiap naik gunung saya menggunakan sepatu trekking warisan milik
kakak saya. Ukuran kaki saya 42-43, sedangkan sepatunya 40! Niatnya sih ngincer
poin pertama, yaitu pakai sepatu gunung. Tapi bodohnya, perbedaan ukurannya
yang jauh nggak saya perhatikan. Padahal saat dipakai udah jelas, itu jempol
sampai nekuk saking sempitnya. Masih aja dipakai. Alhasil, kuku jempol kaki
saya jadi korbannya. Beberapa minggu setelah turun gunung, jempol kaki saya
nggak ada kukunya. Coplok! Yang kanan waktu habis dari Gunung Ciremai. Terus
setelah dari Gunung Slamet, gantian yang kiri.
Efek peristiwa
sepatu kekecilan ini yang parah terasanya saat turun gunung, karena kalau turun
kan, jari-jari kaki yang nahan jadi tumpuannya. Nah itu rasanya sakit banget. Kalau
udah gitu, saya jalannya jadi pelan banget dan sangat berhati-hati. So, supaya
hal seperti itu nggak terjadi, wajib penuhi kedua poin yang saya sebutkan
sebelumnya. Apalagi poin nomor 2!
Naik gunung tanpa alas kaki alias nyeker
Yang ini masih
berhubungan sama yang sebelumnya. Bedanya kalau ini lebih lebih luas lagi,
bukan cuma sepatu. Pokoknya alas kaki, mau itu sepatu atau sandal. Pernah nggak
kalian naik gunung tanpa alas kaki alias nyeker? Kalau saya pernah. Itu terjadi
saat pendakian pertama saya di Gunung Ciremai.
Kala itu saya
mengenakan sepatu yang biasa dipakai untuk sekolah, sepatu kasual gitu deh. Bodoh
memang, mau naik gunung apa mau ke sekolah. Di tengah perjalanan, di malam hari,
sepatu saya jebol. Mana waktu itu posisinya cuma berdua sama teman saya, Heri,
gara-gara ketinggalan dari rombongan. Saya maupun Heri nggak bawa sandal,
dengan terpaksa saya harus nyeker! Disitulah momen paling menyiksa saat naik
gunung untuk urusan kaki.
Sendal putus, diiket rapia deh
Berjam-jam saya
nyeker hingga akhirnya saya pinjam sandal punya Ryan, setelah berhasil menyusul
rombongan. Kaki saya pun terselamatkan. Tapi itu hanya bertahan semalam. Esoknya
saat turun gunung, sandal pinjaman itu putus. Mau nggak mau saya harus nyeker
lagi. Akibatnya kaki saya penuh luka gores. Untuk meminimalisir itu, saya berinisiatif
pakai kaos kaki, begitu pikir saya. Eh baru beberapa menit, kaos kakinya bolong.
Yaudah, nyeker lagi.
Berita baiknya,
itu adalah pengalaman pertama dan terakhir saya nyeker saat naik gunung. Nggak
mau lagi saya mengalami hal seperti itu. Solusinya biar nggak kayak saya, pakai
sepatu trekking, yang masih layak pakai. Kalau solnya udah brodol, benerin.
Kalau nggak bisa, beli lagi yang baru. Lalu buat jaga-jaga, bawa sandal kalau tiba-tiba
sepatu jebol diluar perkiraan. Sandalnya juga jangan sandal jepit swallow, sama
aja, nanti yang ada malah putus. Ujung-ujungnya nyeker juga.
Tidur menggigil di luar tenda
Apa hal yang
paling nikmat saat naik gunung? Tidur. Ya, itu menurut pandangan saya. Setelah
lelah mendaki seharian, tentunya hadiah terbaik adalah tidur di dalam tenda,
dibalik hangatnya sleeping bag. Tapi apa jadinya kalau udah berjam-jam mendaki,
malamnya malah tidur di luar tenda? Bahasa kerennya sih, tidur beratapkan langit
berbintang. Iya kalau langitnya cerah, kalau mendung? Hujan yang ada.
Siapa coba yang
mau malam-malam di gunung tidurnya di luar tenda? Saya juga nggak mau. Tapi
saya pernah. Dua kali malah. Keduanya saya alami saat mendaki Gunung Ciremai. Waktu
jaman-jamannya saya SMA, saya baru kenal yang namanya naik gunung. Saat itu
mendaki gunung juga belum sepopuler sekarang, masih sepi-sepi tentram. Info yang
masih jarang di internet berimbas ke wawasan saya yang minim soal dunia
pendakian.
Kejadian pertama
saat debut pendakian saya. Saya mendaki bareng 9 orang teman. Nah, detik-detik
mengenaskannya terjadi saat kami sampai di pos Sangga Buana 2. Kami cuma bawa 1
tenda, punya Heri. Dengan kapasitasnya 2 person, tendanya Heri dipaksa buat
masukin 4 orang. Alhasil mereka harus berdempetan. Sedangkan 6 orang lainnya
(termasuk saya) ngampar matras di luar tenda. Mampus nggak tuh. Di ketinggan
yang hampir tembus 3000 mdpl, saya hanya tidur beralas matras, beratap langit
berbintang dan berselimutkan SB alias sleeping bag. Yang lebih ngenes, 5 teman
saya lainnya juga pakai SB sih tapi dengan artian berbeda. Sarung Bag.
Pertanyaannya,
dingin nggak tuh? Beuh, nggak usah ditanya! Rasanya kayak di dalam freezer
kulkas, malah lebih extreme. Padahal udah pakai kaos lengan panjang, jaket 2
lapis, celana 3 lapis (celana gunung, kolor dan sempak), kaos kaki bola yang panjangnya
selutut dan sembunyi dibalik SB, tapi itu nggak pengaruh. Dinginnya teteup
tembus menusuk ke tulang. Nggak kebayang temen-temen lain yang sarungan doang.
Pengalaman kedua
terjadi sebulan setelahnya. Kali ini lebih parah lagi, lebih konyol. Rombongan
kami saat itu berjumlah 19 orang, 11 cowok dan 8 cewek. Nah, tenda yang kami
bawa juga cuma satu. Masih tendanya Heri yang idealnya diisi 2 orang. Masalah
besar, paling maksimal aja tenda itu muat 4 orang. 15 orang lainnya gimana?
Solusi terbaiknya, semua cewek (8 orang) masuk ke dalam tenda dan mereka mau
nggak mau harus tidur dengan posisi duduk! Kalau nggak ya, silahkan bergabung
dengan para lelaki yang tidur beratap langit berbintang.
Dari 2 kali
mengalami hal tersebut, kabar bagusnya kami semua selamat sentosa. Bersyukur nggak
ada yang kena hypothermia meski semalaman tidur dengan kondisi mengigil menahan
dingin. Dan terpaksa tidur berpelukan dengan satu sama lain demi menambah rasa
hangat.
Supaya di gunung
nggak ngalamin kejadian tidur beratapkan langit berbintang, gampang! Bawa tenda
sesuai jumlah rombongan. Udah, gitu aja.
Dehidrasi berat akibat kehabisan stok air
Air adalah
kebutuhan yang sangat penting saat naik gunung. Untuk minum, masak dan mandi. Abaikan
yang terakhir. Pokoknya, air itu berharga banget. Apalagi di gunung-gunung yang
nggak ada sumber mata airnya sepanjang perjalanan. Contohnya Gunung Ciremai
jalur Linggajati. Jerigan 5L wajib terisi penuh dari awal pendakian.
Momen-momen kehabisan
persediaan air adalah momen ngenes berikutnya. Apalagi kalau udah dehidrasi
berat. Efeknya kerongkongan kering, pikiran nggak fokus dan 5L (lemah, lesu,
letih, letoy dan leuleus). Imbasnya jalan jadi oleng dan sempoyongan. Tisoledat dan nyusruk jadi dampak rentetan berikutnya gara-gara udah nggak bisa
fokus sama jalan di depannya.
Peristiwa ini
rada sering saya alami, tapi yang paling parah adalah saat debut di Gunung
Ciremai dan ketika summit attack di Gunung Rinjani. Di Ciremai, kejadiannya
saat turun gunung. Waktu itu rombongan kami terpisah jadi 3 grup. Paling depan
grup pelari, mereka turunnya kayak lagi balap lari, ngebut. Kedua, grup oleng,
ini jalannya sempoyongan akibat udah terserang 5L. Yang terakhir adalah grup
ngesot karena jalannya lambat banget. Saya sendiri tergabung di grup oleng.
Nah, di grup oleng ini isinya saya, Heri sama Gembong. Kami semua udah lemes
banget gara-gara dehidrasi, stok air udah abis. Yaudah, jalan udah sering
kepleset dan nyungsep deh. Kalau udah gitu biasanya saya suka mangkel sendiri.
KZL. Pengennya cepet-cepet sampai rumah tapi perjalanan masih jauh.
Tapi WARNING
yah, yang seperti ini jangan ditiru. Kalau mendaki gunung itu, usahakan 1
rombongan itu bareng-bareng terus, jangan terpecah. Soalnya kalau ada kenapa-kenapa
kan susah juga. Kalau dulu mah saya belum begitu paham resikonya gimana.
Sedangkan di
Rinjani, saya kehausan berat saat summit attack. Waktu itu kami hanya membawa
persediaan air 1 botol air mineral 1.5L dan 2 botol 600mL untuk 5 orang. Ini
gara-gara kami salah memperkirakan waktu pendakian dari Plawangan Sembalun ke
puncak. Yang ternyata memakan waktu 8 jam (jam 3 pagi – jam 11 siang). Belum
setengah perjalanan, air sudah habis. Mau balik lagi tapi tanggung. Alhasil kami
tetap lanjut dengan sesekali minta air 1 – 2 teguk ke pendaki lain. Sungkan sih,
tapi mau gimana lagi.
Untungnya ketika
di gunung rasa kemanusiaan sesama pendaki itu tinggi, sehingga mereka dengan
sukarela dan tanpa merasa berat hati memberikan sedikit airnya. Agar tidak
merepotkan pendaki lain dan diri sendiri, solusinya bawa persediaan air yang
banyak. Nggak perlu berlebihan, tapi secukupnya saja dan belajar untuk
manajemen air yang baik ketika naik gunung.
Beban carier yang menandingi kulkas
Dan yang
terakhir adalah naik gunung dengan beban carier yang berat banget. Ini juga
bikin bikin frustasi. Emang sih, sebenarnya kalau bawa barang semakin banyak
semakin bagus. Tapi harus dibatasi, barang-barang yang sekiranya nggak pernting
nggak usah dibawa. Yang ada nambah beban saat pendakian nantinya.
Saya pernah
sekali menyerah bawa carier gara-gara beratnya udah diluar kemampuan saya.
Waktu itu lagi mendaki Gunung Argopuro via Bermi. Saya cuma ditemani 1 orang
teman, Yogi. Mungkin ini juga salah satu faktor keputusan yang salah saya
ambil. Udah pada tahu kan, kalau ke Argopuro waktu tempuh pendakian minimal 5
hari PP. Karena gelarnya sendiri adalah gunung dengan trek pendakian terpanjang
di Pulau Jawa. Otomatis, logistik untuk pendakian juga semakin banyak.
Biasanya saya
naik gunung minimal 3 orang, sehingga pembagian logistik bisa dibagi. Sementara
waktu ke Argopuro kami bawa semi carier ukuran 25L dan sebagian besar logistik
ditaruh di carier 75L. Niatnya sih bakal gantian gitu sama Yogi kalau
diperjalanan pegel. Eh, realitanya saya maupun Yogi bener-bener nggak mampu
menanggung beban carier seberat logistik untuk 5 hari tersebut, meski udah
gantian bawanya. Badan saya rasanya remuk.
Hari pertama
yang rencananya camp di Telaga Taman Hidup, gagal total! Baru setengah
perjalanan, kami menyerah. Pertama kali saya menggendong carier seberat itu.
Nyiksa banget. Mau putar balik, tapi sayang karena udah jauh-jauh ke
Probolinggo. Akhirnya kami memilih camp tepat di pinggir jalur pendakian. Baru
esoknya kami lanjut ke telaga. Tapi cuma sebentar, karena kami putuskan untuk
balik pulang ke Malang.
Ini kesalahan
saya memang karena terlalu memaksakan diri mendaki ketika hanya ada 2 personil
yang berangkat. Ditambah ketersediaan carier yang cuma 1 bikin logistik penuh
di carier tersebut. Sehingga saat mendaki, beban ditanggung oleh yang kebagian
bawa carier.
Untuk
menghindari hal ini, baiknya latihan fisik lagi. Biar nggak lemah. Manajemen
logistik, bawa barang penting untuk keperluan mendaki saja. Lalu packing dengan
beban yang seimbang untuk tiap anggota rombongan. Jangan dibebankan ke satu
orang saja. Kasihan. Tapi nggak masalah sih kalau orangnya kuat, tangguh dan
berjiwa porter. Atau, sekalian aja sewa porter.
Kesimpulannya, 3
dari 5 momen ngenes tersebut saya alami sekaligus pada satu pendakian. Yaitu pada
debut saya di Gunung Ciremai. Mulai dari nyeker saat berangkat, tidur di luar
tenda ketika malam dan dehidrasi berat waktu pulangnya. Momen-momen tersebut
terjadi karea murni akibat kelalaian saya dan teman-teman saat memanajemen keperluan
pendakian.
Solusi umumnya
untuk semua momen tersebut adalah lakukan persiapan yang matang sebelum naik
gunung. Karena saat naik gunung itu harus nyaman. Kalau nggak, ya mungkin salah
satu dari kejadian di atas bisa saja terjadi. So, kenyamanan saat mendaki itu
penting.
0 comments: