Menelusuri Keindahan Tiap Sudut Gunung Bromo
Diantara
Taman Nasional yang ada di Indonesia, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
(TNBTS) bisa dibilang yang paling tenar. Pamornya bukan cuma lingkup nusantara,
melainkan sudah ke mancanegara. Nggak sedikit turis asing yang berlibur ke Bromo.
Selama di Malang, udah 2 kali saya main ke sana.
Kesempatan pertama di bulan Februari tahun 2015 lalu. Dengan menumpak
motor, saya bersama 5 orang teman berangkat ke Bromo jam 11 malam. Ada 3 jalur yang
bisa ditempuh untuk menuju Bromo. Jalur Tumpang (Malang), Nongkojajar
(Pasuruan) dan Cemoro Lawang (Probolinggo). Kalau dari Malang sebenarnya lebih
dekat lewat Tumpang, tapi jalannya rada rusak. Maka dari itu kami memilih lewat
Nongkojajar, meski kami semua belum ada yang pernah, tapi petunjuknya jelas.
Selain itu jalannya juga udah mulus. Sedangkan, kalau lewat Probolinggo terlalu
jauh. Biasanya yang lewat Probolinggo sekalian mlipir ke Air Terjun Madakaripura.
Air terjun yang terkenal dengan hujan abadinya dan konon tempat pertapaan Patih
Gajah Mada.
Ojeg kuda (bg: Pura Luhur Poten)
Ketika memasuki Desa Tosari terjadi kecelakaan ringan. Motor yang saya tumpangi
jatuh. Saat itu teman saya, Rimas, yang nyetir. Penyebabnya adalah jalanan yang
awalnya aspal seketika berganti menjadi jalanan berlumpur dan tidak rata. Kami nggak
sadar sebab kondisinya yang gelap tanpa penerangan. Kami hilang keseimbangan
dan jatuh ke sebelah kiri. Syukurnya hanya luka kecil saja, meski pakaian kami
bagian kiri jadi coklat kena lumpur.
Sekitar 2
jam perjalanan, kami tiba pos perizinan TNBTS. Karena hari itu tanggal merah
kami dikenai tiket untuk hari libur sebesar Rp 37500/orang dan Rp 5000/motor
(roda 2). Lalu kami lanjut ke Puncak Pananjakan. Kalau sering lihat view Gunung
Bromo dan Gunung Batok yang bersandingan serta Gunung Semeru yang berdiri gagah
dibelakangnya, itu dipotret dari Pananjakan. Ini juga salah satu alasan kami pilih
jalur Nongkojajar.
View dari Pananjakan
Sesampainya
di sana, suasananya ramai banget. Puluhan Jeep terparkir di pinggir jalan, begitu
juga puluhan motor di parking area. Dan entah berapa ratus manusia yang berkumpul
di sana menunggu momen terbitnya matahari. Ini akibat perginya bertepatan dengan
tanggal merah (hari raya imlek). Sehingga wisatawan membludak.
Meski masih
jam 2 dini hari, kurang sekitar 3 jam lagi ke momen sunrise, tapi animo
wisatawan sangat tinggi. Padahal suhu saat itu dingin banget. Sampai-sampai
kami bikin kopi supaya hangat. Saat momen sunrise tiba, semua orang tumpah ruah
di satu tempat yang dijadikan titik point of view. Mereka berdesak-desakan demi
mengabadikan momen tersebut. Kami mah boro-boro, malas. Apalagi saat saya
tiba-tiba merasa pusing dan mual (mirip sama lagi mabok, mabok di perjalanan
maksudnya, kalau naik mobil). Mungkin gara-gara terlalu banyak orang yang bikin
saya jadi pusing.
Pananjakan penuh sesak
Setelah momen
sunrise berakhir, wisatawan berangsur-angsur mulai turun ke lautan pasir untuk
naik ke Gunung Bromo. Begitu juga dengan kami. Namun, saat sudah sampai di
lautan pasir, kondisinya lebih ramai lagi. Karena wisatawan dari 3 jalur yang
berbeda campur aduk di sana. Melihat antriannya yang puanjaaang, kami
mengurungkan niat untuk mendaki Bromo. Sebelum kembali pulang, kami hanya mengabadikan
momen di lautan pasir dengan background Gunung Batok.
Mejeng di Lautan Pasir (bg: Gunung Batok)
Sedangkan
di kesempatan kedua hampir seluruh spot di Gunung Bromo saya explore. Kali ini
saya berangkat hanya berdua dengan Mas Anggi atau biasa disebut Eng. Dia berasal
dari Padang dan sedang backpacking sendirian di Pulau Jawa. Kami berangkat ke
Bromo satu hari setelah pertemuan pertama kami. Ya, kami baru kenal sehari
sebelumnya saat kopdar BPI Malang (Backpacker Indonesia Regional Malang). Dia
merupakan kenalan dari salah satu teman saya di BPI.
Bareng Eng
Suasana
di Pananjakan nggak seramai seperti sebelumnya, karena kami pergi saat weekday.
Masih ada ruang-lah, nggak sampai berdesak-desakan. Ketika mengexplore Puncak
Pananjakan, kami menemukan sebuah spot yang jauh dari keramaian. Lebih leluasa
untuk mengambil gambar dari situ. Tempatnya sendiri rada turun sedikit dari titik
utama Puncak Pananjakan.
Kami ke
Bromo bertepatan dengan hari raya suku tengger yang disebut Kasada. Pada hari
itu masyarakat suku tengger mengadakan acara di Pura Luhur Poten dan juga
melakukan ritual Labuh Sesaji di Kawah Bromo. Mereka menjajakan sesajen sebagai
bentuk rasa syukur kepada Shang Yang Widi yang dirayakan setiap tahun saka.
Mulai dari perjalanan turun ke lautan pasir, pada titik-titik tertentu di
lautan pasir, hingga di puncak Gunung Bromo terdapat sesajen.
Sesajen (cuma motret kok, nggak nyicip)
Untuk ke
puncak Bromo, tersedia anak tangga yang dilengkapi pagar dikedua sisinya. Ada
hal yang bikin saya miris, yaitu saat melihat kondisi kawah Bromo. Dibalik kepulan
asapnya yang keluar secara terus menerus, kawahnya dipenuhi oleh sampah! Sampah
plastik seperti botol minuman hingga bekas bungkus makanan berserakan di
kawahnya. Miris banget. Dibalik keindahannya yang telah mendunia, tetap saja ada
tangan-tangan tak bertanggung jawab yang merusaknya. Beginilah kondisi obyek
wisata di Indonesia. Entah apa yang ada dipikiran para wisatawan yang “tak
bertanggung jawab” tersebut, sampai-sampai membuang sampah ke kawah seenaknya
sendiri.
Sampah di Kawah Bromo
Tak lama
kami di puncak, bau belerang yang menyengat bikin kami nggak betah
berlama-lama. Setelah itu kami lanjut lagi ke spot berikutnya, yaitu Bukit
Teletabies. Karena jalannya yang searah, kami pergi ke sana sekalian pulang
lewat jalur Tumpang. Berbanding terbalik dengan lautan pasir yang gersang, di
Bukit Teletabies sangat hijau. Ditumbuhi oleh banyak rumput dan pepohonan.
Sehingga asik untuk nyantai dan leyeh-leyeh.
Bukit Teletabies
Dengan
tiket masuknya yang terbilang rada mahal, Gunung Bromo memang sangat
memanjakkan mata. Saya tak henti-hentinya dibuat takjub oleh panorama alamnya
yang gilaaa keren banget! Wajar kalau akhirnya TNBTS ini jadi ikon pariwisata
Jawa Timur bahkan Indonesia. Untuk menjaga kelestariannya, sebaiknya pihak
TNBTS memasang larangan untuk membuang sampah. Atau kalau perlu memberlakukan
denda untuk setiap orang yang buang sampah sembarangan. Karena sejauh saya memperhatikannya,
banyak sekali sampah berserakan. Entah itu di lautan pasir maupun di kawah. Supaya
ke depan generasi berikutnya bisa menikmati keindahannya yang masih terjaga
kelestariannya.
0 comments: