Menyambut Mentari di Gunung Mahawu
Setelah asyik berpacu
adrenalin dengan jeram di Sungai Nimanga, agenda kami berikutnya adalah mendaki
Gunung Mahawu di Tomohon. Di sana kami menginap di Hotel Gardenia Inn.
Tempatnya apik. Masing-masing kami tidur berdua di satu kamar. Bukan kamar, sih,
lebih tepatnya sebuah “rumah mini” dengan satu ruangan kamar tidur, kamar mandi
yang luas dan sebuah teras yang “pas” untuk menikmati udara segar khas
pegunungan. Jarak antar rumah 5 meter. Di sekitarnya terhampar halaman berumput
yang luas dan tertata rapi lengkap dengan tanaman hiasnya. Lokasinya yang jauh
dari kota membuat udaranya segar dan bebas polusi. Nggak cuma itu, berada di
daerah pegunungan membuatnya terbebas dari polusi cahaya, sehingga ketika malam
hari terlihat jutaan bintang bertaburan di langit. Malam itu kami tidur cepat,
karena kami akan mendaki berburu sunrise pada esok dini harinya.
Pekarangan
hotel Gardenia Inn
Jam 1 dini hari,
alarm ponsel Dena berbunyi. Saya terbangun, tapi karena rasa kantuk yang terlalu
kuat, saya kembali tidur. Berkali-kali alarm ponsel saya dan Dena bunyi
bergantian, tapi teteup saya malas beranjak dari ranjang. Udah pewe banget.
Mana udara malam itu dingin, eh kasur hotelnya bikin betah, susah deh buat
bangun. Hingga saat waktu menunjukkan jam 2.30 saya benar-benar bangun akibat
terpaksa harus memenuhi panggilan alam yang nggak bisa ditunda. Setelah itu
saya membangunkan Dena yang masih dalam mimpinya untuk bersiap-siap. Sekitar
jam 3, kami berkumpul untuk menuju ke Gunung Mahawu.
Ada 2 jalur
untuk mendaki Gunung Mahawu. Pertama, jalur wisata banget yang bisa ditempuh “hanya”
dengan waktu 10 menit. Dengan melewati tangga beton yang dilengkapi dengan
pegangan di tengahnya. Yang kedua adalah jalur seperti gunung-gunung lainnya
dengan melewati jalan makadam dan jalan setapak. Waktu tempuhnya sendiri paling
lama 2 jam perjalanan. Untuk naiknya kami lewat jalur kedua, sedangkan
pulangnya kami lewat jalur 10 menit.
Kami diantar
menggunakan mobil elp sampai di titik awal pendakian. Setelah itu kami baru
memulai trekking dengan medan jalan makadam yang cukup lebar. Di kanan kirinya
adalah hutan yang cukup lebat. Suara serangga seperti jangkrik dan tonggeret
saling bersautan menemani pendakian kami. Begitu juga suara burung, yang paling
saya ingat adalah suara dari “buek” alias burung hantu. Ketika buek itu
bersiul, beberapa dari kami membalasnya. Eh bueknya nggak mau kalah. Dia kembali
membalas dengan suara yang lebih nyaring.
Detik-detik matahari terbit
Di perjalanan
saya melihat ada beberapa shelter yang bisa digunakan untuk beristirahat.
Lama-kelamaan jalan semakin sempit dan berubah menjadi jalan setapak yang hanya
muat dilewati oleh satu orang. Tak lama, jalan berganti lagi menjadi tangga beton
yang dilengkapi pegangan besi disisi kanannya, tapi pegangan tersebut sudah
mulai rusak, terlihat dari kondisnya yang sudah berkarat dan ada yang patah.
Jalan akan terus seperti itu sampai puncak. Saya tiba di puncak berbarengan
dengan langit yang mulai menunjukkan warna kemerah-merahan tanda matahari akan
terbit.
Di puncak masih
banyak ditumbuhi oleh pepohonan tinggi sehingga panoramanya tertutupi. Oleh karena
itu, di sana disediakan sebuah bangunan tanpa beratap setinggi 3 meter yang
bisa dinaiki untuk melihat pemandangan dari atasnya. Meski tingginya hanya
sekitar 1.300 mdpl, Gunung Mahawu punya kaldera yang cukup luas. Di dalamnya
juga terdapat danau kawah yang berukuran kecil, tapi bau belerangnya masih
jelas tercium. Selain itu, dari atas puncak saya juga dapat melihat gunung
lainnya seperti Gunung Lokon dan Gunung Empung yang berdiri dengan gagahnya.
Sementara di kejauhan terlihat Pulau Bunaken, Pulau Manado Tua dan pulau-pulau
kecil lainnya yang seolah mengapung di laut Sulawesi.
Kaldera
Gunung Mahawu
Waktu berada di
puncak, hal yang wajib dilakukan apalagi kalau bukan mengabadikan momen. Soalnya
kata orang-orang zaman sekarang, kalau ke suatu tempat tanpa adanya bukti
berupa foto disebut omong kosong belaka. “No pic, hoax!”, gitu katanya. Ritual
ini sendiri paling lama dilakukan. Alasannya karena masing-masing dari kami
pengen foto yang sendiri-lah, foto bareng-bareng-lah, foto selfie-lah, foto
selfie bareng-bareng alias wefie-lah. Macem-macem pokoknya. Kalau dikasih waktu
1 jam doang mah nggak bakal cukup buat foto-foto.
Momen
kebersamaan
bareng Bang Rahung & Kak Prue
Sekitar jam 7
pagi, kami bersiap untuk turun gunung dengan melewati jalur 10 menit. Tapi sebelumnya
kami harus mengitari puncak gunungnya dulu, karena titik untuk turun di jalur
10 menit ada di sisi lain dari puncak. Setelah menuruni sekitar 160 anak tangga
(saya nggak ngitung kok, ini dari wikipedia), kami sampai di gerbang masuk
pendakian gunung Mahawu. Ternyata benar, jalur ini memang cuma butuh waktu
sekitar 10 menit perjalanan. Dengan trek berupa tangga beton yang dilengkapi
pegangan besi, mengingatkan saya dengan Gunung Bromo. Bedanya kalau di Gunung
Mahawu kanan-kirinya pepohonan rimbun, jadi suasananya adem.
Menuruni jalur
10 menit
Di dekat gerbang
masuk terdapat tulisan “Mahawu” yang berukuran besar. Tanpa aba-aba, kami
langsung ambil posisi di depannya begitu Bang Ian kasih isyarat. Mobil elp yang
sebelumnya mengantar kami pun sudah stanby untuk menjemput. Tujuan kami
berikutnya adalah mengunjungi Pasar Beriman Tomohon atau terkenal dengan
sebutan Pasar Extreme. Kenapa? Tunggu saja ceritanya!
MAHAWU
0 comments: