Gunung Papandayan #2: Dari Hutan Mati Hingga Tegal Alun
Entah
belum merasa capek atau sudah kebiasaan, saat mencoba istirahat dan memejamkan
mata malah nggak bisa. Sedangkan Salman, Ivan dan Fikri yang satu tenda dengan
saya sudah tidur dan pergi ke alam lain. Mana panas matahari lagi
puncak-puncaknya. Berada di dalam tenda nggak ada bedanya dibandingkan dengan
di luar tenda, sama-sama panas.
Nggak
tahan dengan panasnya, saya kabur mencari spot yang teduh di bawah pepohonan. Aslinya
mau ngajak yang lain, tapi karena udah pada tidur dan sungkan mau bangunin,
akhirnya pergi sendirian. Awalnya saya cuma mau cari tempat yang teduh sambil
mengambil gambar di sekitar Pondok Saladah aja. Tapi karena penasaran sama
Hutan Mati, saya pergi ke sana.
Saat
tiba di sana, panorama yang saya lihat sungguh menakjubkan. Amazing! Bayangkan,
sebuah hutan yang di tumbuhi banyak pepohonan, pohon-pohon tersebut sudah mati
(nggak punya daun) namun tetap berdiri tegak. Spot unik yang hanya bisa
ditemukan di Gunung Papandayan. Hutan Mati sendiri terbentuk akibat letusan
Gunung Papandayan beberapa tahun yang lalu. Membakar hutan Papandayan hingga
pepohonannya mengering dan tanahnya menjadi putih yang sarat akan kandungan
belerang.
Lagi
nyari angle yang apik
Di
Hutan Mati saya memotret pemandangan yang sangat unik ini dari berbagai sudut. Puas
mengabadikan panorama Hutan Mati, saya agak bimbang. Balik ke Pondok Saladah
atau lanjut ke Tegal Alun. Saat melihat jam, waktu masih menunjukkan jam 1
siang. Masih lama sebelum malam tiba. Akhirnya kaki saya melangkah menuju Tegal
Alun. Saat itu saya masih sendirian. Sampai ketika saya sedang istirahat, saya
bertemu dengan 3 orang pendaki yang akan menuju Tegal Alun juga. Saya bergabung
untuk mendaki bersama dan kami pun berkenalan. Mereka adalah Anton, Pria dan
Wahid yang berasal dari Bogor.
Bersama
mereka, saya melanjutkan perjalanan menuju Tegal Alun. Di tengah perjalanan
kami menemukan sebuah persimpangan. Yang pertama jalannya belok kiri dan kurang
jelas karena tertutupi pepohonan yang lebat. Sedangkan satunya lurus dan agak
menanjak, namun jalannya jelas dan terbuka. Kami pun pilih jalan yang lurus. Karena
terlihat lebih meyakinkan.
Setelah
beberapa menit berjalan, jalan yang kami pilih lama-kelamaan semakin menanjak
dan terkesan terjal. Membuat kami harus berpegangan pada batang pohon setiap
kali melangkahkan kaki. Terkadang kami juga harus berpegangan satu sama lain
karena konturnya miring. Saya berpikir, harusnya tadi kami pilih jalan yang
belok kiri saja. Kelihatannya nggak separah ini. Tapi nggak mungkin juga untuk
putar balik. Lebih baik lanjut naik dari pada turun, ngeri, curam banget
dilihat dari atas. Toh, akhirnya kami dapat melihat pemandangan yang sangat
bagus dari situ. Pondok Saladah dan keramaian pendaki dari ketinggian.
Jalannya
sempit
Pemandangannya
bikin mata seger
Nyaris
1 jam kami melewati tanjakan extreme itu, sungguh melelahkan. Setelah itu jalan
menjadi landai. Nggak sampai 10 menit, kami menemukan sebuah tanah datar yang
sangat luas. menyerupai lapangan bola. Dan yang membuat saya tercengang,
lapangan itu dipenuhi oleh Edelweiss. Ya, si bunga abadi! Luar Biasa! Saya
yakin, saat itu saya sedang berada di Tegal Alun, meskipun saya nggak menemukan
papan petunjuknya.
Suasananya
sepi saat pertama kali saya melihat Tegal Alun dari balik hutan. Hanya ada kami
berempat dan 2 orang pendaki dari Bandung yang berpapasan dengan kami di jalan
(lupa namanya). Lalu kami berkeliling sambil mengabadikan momen. Tegal Alun
benar-benar luas, Edelweiss pun tumbuh di setiap sudutnya. Tempatnya sangat
terbuka. Saya membayangkan malam hari di sana, melihat gemerlap cahaya bintang
di dinginnya malam di Tegal Alun. Sayang di situ nggak diperbolehkan untuk
camp.
Edelweiss
sejauh mata memandang
Enak
buat tiduran
Ketika
berkeliling, kami akhirnya menemukan papan yang menunjukkan bahwa di situ
adalah Tegal Alun. Nggak jauh dari situ, saya melihat beberapa pendaki muncul
dari balik hutan. Ternyata ada jalan lain untuk menuju Tegal Alun. Dan saya
yakin, itu adalah jalan belok kiri yang kami temukan sebelumnya di
persimpangan.
Rasa
penasaran saya seperti nggak ada habisnya. Awalnya kabur dari tenda cuma ingin
mencari tempat yang teduh. Lalu penasaran dengan Hutan Mati dan lanjut ke sana.
Di Hutan Mati saya bertemu dengan 3 pendaki dari Bogor dan mendaki sampai Tegal
Alun. Dan kali ini di Tegal Alun, dengan bertambahnya 2 orang dari Bandung,
kami berenam sepakat untuk melanjutkan lagi ke Puncak Papandayan.
Kebanyakan
orang yang mendaki Papandayan menjadikan Tegal Alun sebagai titik utama
pendakian. Padahal sebenarnya masih ada puncaknya. Meskipun kata orang-orang di
puncak pemandangannya nggak terlalu istimewa karena tertutupi pepohonan.
Mungkin akibat hal itu pula jarang ada pendaki ke sana. Saat kami mencari jalan
ke puncak, petunjuk pun minim. Nggak ada satu pun tanda yang mengarahkan jalan
ke puncak. Kami hanya mengandalkan informasi dari pendaki yang kami temui yang turun
dari puncak.
Kami
mendaki ke puncak berdasarkan arahan dari pendaki tersebut, tapi beberapa kali
kami malah bertemu jalan buntu. Bukan jalan buntu sih, tapi jalan yang berujung
dengan jurang. Tapi kami nggak menyerah, kami terus lanjut dan menemukan sebuah
sungai. Nggak jauh dari sungai itu, ada beberapa pendaki yang turun ke arah
kami. Lalu kami interogasi mereka. Mereka bilang kalau jalan yang kami lewati
memang benar, tapi setelah sungai itu jalannya akan semakin samar alias nggak
jelas. Karena sebelumnya di daerah itu sempat terjadi kebakaran dan membuat
jalur ke puncak yang “benar” hilang. Sehingga membuat mereka mencari jalan
sendiri ke puncak.
Mereka
menyarankan kami untuk kembali saja ke camp dan mencoba lagi ke puncak esok
harinya. Takutnya kemalaman di jalan, mana nggak bawa senter pula. Mereka
sendiri sudah dari pagi mendaki ke Puncak Papandayan. Sedangkan saat itu sudah
menunjukkan jam 2, hari semakin sore. Kami putuskan untuk mengikuti saran dari
mereka dan turun kembali ke camp.
Saat
hari udah gelap, hawa di Pondok Saladah menjadi sangat dingin, berbanding
terbalik dengan siang harinya yang begitu panas. Untuk menghangatkan tubuh,
kami membuat api di dekat tenda sambil memasak untuk makan malam. Malamnya kami
habiskan dengan mengobrol bersama pendaki lain dan juga ranger di sana. Ketika
rasa kantuk tiba, satu per satu kami tidur karena esoknya kami akan mengejar
sunrise di Hutan Mati.
Tidur
saya cukup nyenyak. Sekalinya merem, bangun-bangun udah jam 4 pagi. Lalu
siap-siap untuk perjalanan ke Hutan Mati. Nggak jauh jarak dari Pondok Saladah
ke Hutan Mati. Sekitar 10 menit berjalan santai, kami udah sampai. Kemudian
kami menuju sisi Hutan Mati yang menghadap ke Kawah Papandayan, tepat di
pinggir jurang. Di situ, udah banyak pendaki yang menanti terbitnya matahari.
Warna
kemerah-merahan mulai nampak di langit sebelah timur. Para pendaki udah bersiap
untuk mengabadikan momen yang khas dalam mendaki gunung. Momen yang identik
dengan semangat baru. Menyambut hari baru untuk memulai aktivitas. Setelah
menunggu, momen yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Matahari terbit menerangi
Hutan Mati dari kegelapan. Berbarengan dengan itu, rasa hangat mulai terasa
oleh tubuh. Untuk beberapa saat, kami menikmati momen sunrise dengan rasa
bahagia.
Menanti
matahari terbit
Yohoo
sunrise
Kemudian
kami melanjutkan perjalanan ke Tegal Alun. Karena saya udah tau jalurnya, saya
mengajak teman-teman untuk melewati jalur yang belok kiri saat ada
persimpangan. Dan ternyata benar seperti dugaan saya, jalurnya nggak separah jalur
yang saya lewati sebelumnya. Meskipun ada satu tanjakan yang lumayan terjal, “Tanjakan
Mamang” namanya.
Sekitar
1 jam berjalan, kami akhirnya sampai di Tegal Alun. Perasaan lega hadir pada
diri saya. Untuk kedua kalinya saya berhasil menginjakkan kaki di Tegal Alun
dalam satu kali pendakian. Lalu kami habiskan waktu untuk bersantai di Tegal
Alun selama beberapa jam. Karena kami nggak ada rencana untuk mendaki sampai ke
puncaknya.
Tanjakan
Mamang
Yeahhh!
Papandayan
memang surganya pendaki gunung. Mata saya terus dimanjakan dengan keindahan
alam yang tak ada duanya sepanjang perjalanan. Dengan waktu tempuh yang relatif
singkat dan medan yang nggak terlalu berat, saya percaya kata orang-orang kalau
Gunung Papandayan emang salah satu gunung yang cocok untuk seorang yang pemula
dalam dunia pendakian. Ditambah dengan berbagai fasilitas seperti toilet umum
dan warung jajan yang berjejer (di sepanjang perjalanan dan Pondok Saladah)
semakin memudahkan para pendaki saat mendaki.
Pendakian
kali ini saya nggak mendaki sampai puncak. Emang sih tujuannya hanya sampai
Tegal Alun, tapi tetep aja penasaran. Yah, next time mungkin saya bakal ke
Papandayan lagi dan mendaki sampai puncaknya. Wait 4 me, Papandayan!
0 comments: