Menyusuri Uniknya Jalur Pesisir Menuju Pantai Puger
Pantai Puger adalah salah satu pantai di Jember. Mungkin masih kalah
terkenal dengan 'saudara'nya yaitu Pantai Papuma yang tersohor itu. Tapi Pantai
Puger tak kalah eksotis jika dibandingkan dengan Papuma. Pantai Puger lebih
dikenal sebagai tempat pelelangan ikan (TPI). Selain itu, di sana juga tiap
tahunnya diselenggarakan Larung Sesaji. Kegiatan ini dilakukan sebagai ungkapan
rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki yang diberikan, terutama oleh nelayan
Puger. Mereka membuang jauh nasi tumpeng ke laut sebagai simbol untuk harapan
mereka.
Perjalanan menuju Pantai Puger ini merupakan hari kedua dari long trip saya bersama Cahyadi. Hari
sebelumnya kami sudah mengunjungi Coban Sewu di Malang dan Pantai Wotgalih di
Lumajang (tapi gagal ke pantainya). Berdasarkan referensi dari google maps,
dari Pantai Wotgalih ke Pantai Puger ada 2 jalur. Pertama, jalurnya lewat kota
dengan waktu tempuh 55 menit. Yang kedua adalah jalur pesisir dengan waktu
tempuh 1 jam 15 menit. Ya, semua itu estimasi waktu dari google maps.
Kami sudah memikirkan segala kemungkinan dari 2 jalur tersebut. Kalau
lewat jalur kota sebenarnya banyak keuntungannya. Akses jalan pasti mulus dan
ada petunjuk meskipun nantinya kami nyasar gampang tinggal nanya orang. Selain
itu masalah motor. Kalau motor kehabisan bensin ya ke pom, kalau ban bocor ya
tambal, kalau mogok tinggal ke bengkel. Berbagai masalah mudah diatasi kalau
lewat kota.
Sedangkan jalur pesisir ini kebalikannya dari jalur kota. Jalan belum
tentu mulus dan pasti jarang ada petunjuk. Terus nyari orang untuk ditanya juga
bakal susah. Apalagi urusan motor. Motor abis bensin, ban bocor atau mogok mau
di bawa kemana? Yang ada harus kami dorong sampai Jember. Nggak kebayang kalau
hal itu terjadi bakal gimana nantinya.
Setelah mempertimbangkan semua kemungkinannya, akhirnya kami putuskan
untuk memilih jalur.. ya kalian semua sudah tau jawabannya. Kami pilih opsi
kedua, jalur pesisir. Kami ambil semua resiko yang bakal terjadi kalau lewat
pesisir. Saya yakin itu nggak bakal terjadi, karena saya berpikir positif dan
bawa enjoy aja perjalanannya. Alasan lain adalah karena saya penasaran dengan
jalur pesisir. Saya ingin tahu apa yang bisa saya temui saat melewatinya.
Karena kalau lewat kota udah sering, ya gitu-gitu aja.
½ 7 pagi kami sudah meninggalkan Wotgalih. Keluar dari gerbang
bertuliskan Pantai Wotgalih, kami langsung ambil arah kanan (arah ke Jember).
Kami nggak lewat jalan saat kami berangkat (ke Wotgalih). Perjalanan kami
diawali dengan melewati ladang-ladang milik warga. Udara pagi itu segar sekali.
Ditambah jauh dari kota, berkali-kali lipat sejuknya. Dan jalannya lumayanlah,
nggak mulus sih, tapi nggak rusak juga kok.
Baru beberapa menit berlalu kami udah nyasar. Berawal dari sebuah
pertigaan, kami memilih lurus karena jalannya lebih lebar jika dibandingkan
dengan yang belok. Karena saya pikir jalan yang lebar adalah jalan utamanya.
Awalnya saya PD aja. Sampai saya melihat sebuah jembatan besar yang arahnya
berbeda dengan jalan yang kami lewati, saya mulai ragu. Saya bertanya pada
Cahyadi yakin apa nggak dengan jalan yang kami lewati. Dia juga ragu. Kami
ingin bertanya arah jalan, tapi kami nggak nemu orang satu pun.
Sambil nyari orang untuk ditanya, kami tetap terus dengan jalan yang kami
lewati. Tapi lama-kelamaan jalan yang kami lewati ini rasa-rasanya mengarah ke
laut, terdengar dari suara ombak yang semakin keras. Sebelum berangkat, saya
menjadikan matahari sebagai patokan ke arah Jember. Karena matahari terbit di
timur, dan Jember posisinya sebelah timur Lumajang. Maka saya tetapkan arah ke
Jember dengan mengikuti Matahari.
Nah berdasarkan hal itu saya jadi semakin ragu. Alasannya, jalan yang
kami lewati ini menuju ke arah selatan. Dan TIDAK bisa ke arah timur. Kenapa?
Karena ke arah timur terpisah oleh muara yang lebar. Dari situ saya baru sadar
fungsi jembatan besar yang saya lihat, untuk menyebrangi muara. Lalu saya yakin
kalau jalan yang bener adalah dengan melewati jembatan karena searah dengan
matahari.
Kami putar balik dan harus kembali ke pertigaan sebelumnya. Tapi sebelum
sampai di pertigaan, saya melihat ada orang naik motor melewati jalan sempit di
samping sawah dan langsung nyambung ke jembatan. Saya pikir itu ide bagus dan
kami ikuti orang itu. Akhirnya kami tiba di jembatan yang menyebrangi muara.
Kami istirahat sebentar sambil memotret kondisi jembatan dan muaranya.
Muaranya lebar
Bisa di pake foto juga
Jembatannya besar dan mulus
Kemudian kami lanjutkan lagi perjalanannya. Mulai dari situ, kondisi
jalan mulus banget. Saya bisa saja menambah kecepatan sampai kisaran 80-100
km/jam, tapi kecepatan maksimal saya cuma sampai 60 km/jam. Alasannya simple,
pemandangannya keren, udaranya seger. Saya nggak mau terburu-buru melewati
suasana seperti itu.
Seperti yang saya pikirkan sebelumnya, saya penasaran dengan apa yang
akan saya temui dengan melewati jalur pesisir. Setelah menyebrangi muara, kami
menemui hal-hal unik yang tidak akan kami temui kalau kami lewat kota. Mulai
dari jalanan yang sepi pol, deretan pohon bakau (mangrove), hingga gurun
berpasir hitam khas pantai-pantai di Lumajang. Bahkan saat melihat gurun dengan
pasir hitam, kami turun untuk mengabadikan momen sesaat.
Jalanan sepi pol
Gurun Pasir Hitam
Setelah beberapa lama, jalan yang mulus banget itu seketika habis. Berganti
menjadi batu-batu kerikil berpasir. Jalan jadi jelek banget, kecepatan motor
pun saya kurangi jadi nggak lebih dari 40 km/jam. Lalu ada satu tempat dimana
jalan di depan kami ini amblas. Kami terpaksa keluar jalur dan melewati pasir.
Pasirnya lumayan dalam, ditambah jalannya agak menanjak membuat Cahyadi harus
turun dan mendorong motor.
Dengan medan yang semakin lama semakin di luar perkiraan, saya agak
khawatir kalau ban motor bakal bocor. Apalagi setelah melewati jembatan yang
menyebrangi muara udah nggak ada lagi pemukiman warga. Hanya ada alam dan kami.
Lalu masalah bensin, udah mendekati huruf ‘E’. Sejak berangkat dari Wotgalih
kami belum mengisi bensin lagi. Alasannya karena sepanjang jalan nggak ada yang
jual. Jangankan bensin, orang dan pemukiman aja nggak ada. Pokoknya,
pikiran-pikiran negatif menjalar. Tapi mau gimana lagi, saya nikmati saja
perjalanannya.
Hingga akhirnya kami mulai melihat ada satu-dua rumah. Lama-kelamaan
semakin banyak dan saat melewati sebuah sekolah (seingat saya SMP), ada tulisan
PUGER disana. Ya, kami udah sampai di Puger! Kami di Jember! Sepanjang jalan
itu saya melihat ada pantai dan perahu-perahu nelayan. Karena kami udah di
Puger tapi nggak tau dimana Pantai Puger yang menjadi tempat wisatanya, kami
bertanya pada warga. Ternyata, pantainya masih harus terus lagi.
Daaan tak lama dari situ, kami akhirnya tiba di Pantai Puger!
Nyantai dulu
Ombaknya lumayan
Pantainya sepi, entah karena masih pagi ataupun emang suasananya begitu. Warung-warung
disekitar pantai juga masih pada tutup. Nggak kayak pantai-pantai di Lumajang
yang pasirnya hitam, di Pantai Puger berpasir putih. Di kejauhan, terlihat
Pulau Nusa Barong yang samar-samar. Di Pantai Puger dilarang untuk berenang
karena ombaknya yang cukup besar. Kami hanya memandangi pantai dengan diterpa
sejuknya angin laut. Itu sudah membuat saya nyaman berada di pantai. Kami juga
sesekali bermain air di pinggir pantai.
Sebentar saja kami di Pantai Puger. Sekitar jam ½ 11 kami lanjut menuju
Kota Jember.
Suasananya nyaman buat tidur
0 comments: