Mengantar Senja dan Menyambut Pagi di Papuma
Pantai Papuma merupakan salah satu pantai selatan
yang sangat populer, khususnya di Jawa Timur. Keeksotisan pantai ini menjadi
andalan pariwisata Kota Jember. Selain keindahannya yang tidak perlu diragukan
lagi, yang membuat orang berbondong-bondong datang adalah mudahnya akses untuk
menuju kesana dan fasilitasnya yang memadai.
Masih dalam long
trip saya bersama Cahyadi yang berawal dari Coban Sewu, Pantai Wotgalih dan
Pantai Puger. Kami melanjutkan perjalanan dari Pantai Puger menuju Pantai
Papuma. Sebelum kesana, kami akan singgah dulu di Kota Jember. Kami akan meet up dengan teman saya yang
berdomisili di Jember. Dia bukan asli Jember, dia sedang kuliah di salah satu perguruan
tinggi di Jember. Namanya Nur.
Kami mau numpang reload
amunisi kami yang sudah habis (baca: baterai kamera). Karena gawat kalau
nggak di cas, saya nggak bisa bikin dokumentasi di destinasi selanjutnya. Kalau
itu terjadi, nanti catatan perjalanan saya isinya cuma tulisan doang. Jadi
nggak menarik, abis itu nggak ada yang baca. Kan bahaya banget.
Saya dan Nur udah membuat janji untuk ketemuan di
depan kampusnya, dan kampusnya sendiri berada di kota. Kami nggak langsung
menuju kesana. Saat itu udah dekat dengan waktu Shalat Jum’at, maka dari itu
kami harus mencari masjid dahulu. Udah seharian lebih kami belum mandi. Karena
mau shalat Jum’at, mau nggak mau kami harus mandi. Kalau nggak gitu sih nggak
bakal mandi.
Saat ngisi bensin di pom, saya iseng-iseng ngecek
toiletnya, eh taunya ada kamar mandi yang lumayan luas. Jadilah kami mandi di situ.
Jarang-jarang pom bensin ada kamar mandinya, biasanya ya toilet aja gitu. Paling
cuma bisa kencing sama boker. Lah ini ada bak mandinya segala.
Setelah mandi kami lanjut perjalanan lagi sambil
nyari masjid. Saat mendengar adzan berkumandang, kami langsung merapat arah ke
masjid yang sepertinya berada di pusat kota Jember. Ketika masuk ke dalam
masjid rasanya adem, apalagi saat mengambil wudhu terasa seger banget.
Berbanding terbalik dengan hawa di Kota Jember yang panasnya menyengat tubuh. Saya
paling males sama hawa panas di kota. Bukan tanpa alasan, selama ini saya hidup
di tempat yang bisa dibilang hawanya dingin. Dari kecil saya tinggal di kaki
Gunung Ciremai yang berada di Kabupaten Kuningan. Dan sekarang saat kuliah,
saya tinggal di Kota Malang yang udah terkenal hawanya dingin. Ya itulah
alasannya saya nggak suka dengan hawa panas di kota.
Ba’da shalat Jum’at kami berangkat menuju meeting point, yaitu kampus UMJ. Dengan
bantuan warga Jember alias tanya sana tanya sini, kami berhasil sampai di
kampus UMJ. Langsung saja saya telpon si Nur suruh supaya cepet ke mepo, karena saya udah nggak kuat dengan
panasnya Jember. Tapi dia nggak datang-datang, lama banget. Setelah di
tunggu-tunggu sampai jenggotan akhirnya dia muncul bersama temannya menggunakan
sepeda motor.
Kemudian kami digiring ke arah kostannya. Nggak jauh
sih, nggak sampai 5 menit dari kampusnya. Lalu saya sampaikan tujuan kami yaitu
numpang reload amunisi. Karena saat
itu waktunya makan siang, kami diajak makan oleh Nur, dia juga mengajak teman
kostnya yang lebih tua satu angkatan darinya. Mbak Wulan. Sebelum berangkat ke
tempat makan, kami juga titip carier saya yang segede gaban itu.
Tempat makannya jauh gila, kami di bawa muter-muter
kota Jember kayaknya. Padahal udah laper banget. Sambil makan, kami ngobrol-ngobrol.
Nggak jelas ngomongin apa, random banget. Ngalor-ngidul lah pokoknya, saya
nggak ingat. Yang saya ingat, saya ngajak mereka untuk ikut ke Papuma. Selain
itu, mbak Wulan katanya udah sering kesana dan hapal jalan. Itu berkah banget
untuk kami, jadi kami nggak perlu nyasar-nyasar dulu untuk menuju Papuma.
Sehabis makan kami kembali ke kostnya Nur. Namanya
kost perempuan, ada tulisan “laki-laki di larang masuk” itu hal yang lazim.
Maka dari itu kami hanya duduk-duduk di teras sambil ngobrol. Sedangkan mbak
Wulan mau dandan dulu katanya. Kami nggak langsung berangkat ke Papuma,
istirahat dulu sambil nunggu mbak Wulan selesai dandan, eh sambil nunggu
baterai kamera penuh maksudnya.
Kemudian kami berangkat sekitar jam ½ 4 sore. Kami
nggak khawatir kemalaman di jalan, karena dari Jember kota ke Pantai Papuma
hanya memakan waktu sekitar 1 jam. Itu juga tanpa perlu nyasar. Dan pada
kenyataannya kami sampai lebih cepat dari perkiraan. Hal itu tidak lain karena
mbak Wulan nyetir motornya udah kayak pebalap moto GP, sumpah ngebut banget.
Saya dan Cahyadi yang selama perjalanan selalu nyantai, paling mentok 70km/jam.
Saat itu terpaksa menambah kecepatan karena harus mengimbangi kecepatan mbak
Wulan. Kalau nggak, kami bakal ketinggalan jauh. Ada-ada aja emang.
Pantai Papuma emang udah populer banget, sebelum
sampai di pintu masuk saja lalu-lalang wisatawan yang pulang/pergi banyak
banget. Mana saat itu sedang long weekend,
pas banget deh. Harga tiket masuk ke Pantai Papuma 15rb/orang dan 5rb untuk
kendaraan roda dua. Dari pintu masuk masih terus lagi untuk sampai di
pantainya. Nggak ada tempat parkir khusus, orang yang berwisata bebas parkir di
sepanjang pantai. Karena pantainya sendiri memang panjang.
Suasana di Papuma ramai banget, di tiap titik pasti
ada wisatawan. Mulai dari anak-anak sampai kakek-nenek ada. Fasilitas di Pantai
Papuma lengkap. Kalau mau shalat, ada mushola. Mau makan, warung berjejer.
Toilet juga banyak kalau mau kencing atau boker.
Kami mencari spot yang bagus untuk mengabadikan
momen. Saat itu udah masuk waktu sunset, banyak wisatawan yang sedang
mengabadikan proses terbenamnya matahari tenggelam. Kebanyakan fotografer pro, terlihat
dari perlengkapan fotografinya. Mulai dari kamera tentunya, tripod dan berbagai
macam lensa dan aksesoris kamera di ranselnya.
Para Fotografer Pro
Sunset
Saat matahari udah tenggelam dan hari semakin gelap.
Nur dan mbak Wulan memutuskan untuk pulang. Saya ucapkan banyak makasih sama
mereka karena udah mau direpotin hari itu. Makasih Nur, mbak Wulan! Sedangkan saya
dan Cahyadi tetap tinggal di Papuma, karena kami akan bermalam di sana.
Lalu kami mencari lapak untuk mendirikan tenda. Saat
sedang mencari lapak, kami di hampiri oleh seorang bapak-bapak. Dia bilang kalau
di Papuma aman, tenang aja, sampai malam pun suasana tetap ramai karena
warung-warung di sekitar ada yang buka 24 jam. Lalu dia menambahkan kalau malam
itu giliran dia yang jaga jadi nggak perlu bayar lagi. Karena biasanya kalau
sama orang lain bakal di tarik lagi untuk bermalam, katanya.
Setelah mencari-cari lapak yang tepat, akhirnya kami menemukan
lapak dengan view yang cukup bagus. Kami mendirikan tenda tidak jauh dari batu
karang menjulang yang menjadi ciri khas Pantai Papuma. Kemudian kami
masak-masak dan makan. Kami iseng-iseng foto light painting yang nggak sempat kami coba saat di Wotgalih karena
baterai kamera lowbat. Dengan ekspektasi ingin mendapat ribuan bintang lagi
seperti di Wotgalih, kami tidur dulu dan bangun saat dinihari.
Papuma Light Painting
Jam 1 dinihari saya bangun, saya keluar tenda dan
melihat ke arah langit. Tapi nggak banyak bintang yang saya lihat. Langit
disana terlalu banyak terkena polusi cahaya, selain itu langit juga berawan. Saya
kembali tidur dan bangun sejam kemudian dengan harapan kondisi akan membaik.
Tapi nyatanya sama saja. Lalu saya tidur (lagi) dan jam 3 saya bangun (lagi).
Tapi nggak ada perubahan, langit tidak secerah dan sebersih saat di Wotgalih.
Karena sudah terlanjur bangun dan nggak bisa tidur
lagi, kami foto light painting lagi
sembari menikmati malam di Papuma. Ketika akan tiba waktu sunrise, banyak
wisatawan berdatangan. Ternyata mereka sedang berburu sunrise. Mau siang, mau
malam atau sebelum matahari terbit Papuma selalu punya orang yang datang untuk
berwisata.
Sunrise
Double Stick Martial Art
Ketika hari sudah terang, kami membongkar tenda dan
bersiap untuk melanjutkan destinasi terakhir ke Air Terjun Madakaripura, Probolinggo.
Me and my bike!
0 comments: