Pendakian Welirang #2: Gagal ke Puncak
Nggak
lama kami di air terjun mini. Lalu kami melanjutkan perjalanan. Dibanding dari
Pet Bocor ke Kop-kopan, dari Kop-kopan ke Pondokan ini jalurnya lebih panjang,
jauh. Kalau sebelumnya kami kehujanan pas ke Kop-kopan. Kali ini kami kepanasan
dengan tiadanya pepohonan, emang ya medan terbuka gitu bikin serba salah. Tapi
yah, jangan banyak ngeluh. Namanya juga kegiatan di alam bebas.
Kami
rombongan pertama yang berangkat pagi itu. Jadilah kami yang terdepan.
Lama-kelamaan kami disusul oleh sekelompok pendaki. Padahal seingat saya, waktu
kami caw itu belum ada yang siap-siap buat berangkat. Tapi kok ini udah kebalap
aja. Nggak tau jalan kami yang lambat kayak kuya atau merekanya yang jalannya cepet
kayak antelope, tau-tau udah kesalip aja.
Mangats Ko, ada
minuman seger
Mereka
ada 4 orang, yang 3 jalannya biasa aja, setaralah sama kami. Tapi yang satunya
jalannya bedas abis, kalau jalan
selalu paling depan. Cepet banget, udah mah bawa carier paling gede di banding
temennya. Mana mereka badannya kecil-kecil. Taunya anak SMK, kelas 2 pula. Aduh
malu-maluin. Eh maklum deng, mereka kan masih muda, jiwa muda, semangat muda.
Wajarlah. Kalau kami? Masih muda juga sih, tapi semangatnya aja kayaknya yang
udah rapuh.
Akhirnya
sepanjang perjalanan sampai Pondokan, kami mendaki bareng mereka. Good job
buddy, nice teamwork! Yeah! May the force be with us!
Tujuan
mereka sama, mau ke Welirang, siang itu juga. Kami berpisah di Pondokan. Mereka
pasang tenda di Pondokan, sedangkan kami lanjut ke Lembah Kidang. Soalnya
rencana kami, abis dari Welirang mau lanjut lagi ke Arjuna. Jadi biar sekalian
pasang tenda di Lembah Kidang.
Pondokan, yang
dalam karung itu belerang
Sambil
jalan ke Lembah Kidang, kami mulung kayu
bakar buat perapian. Banyak pohon tumbang. Karena nggak bawa golok, jadi kami
cuma bawa kayu-kayu yang bisa diambil tanpa perlu dipotong. Setibanya disana
cuma ada satu tenda, itu pun nggak ada orangnya. Masih muncak kayaknya. Lalu
kami mendirikan tenda, posisinya sama persis kayak pas ndaki Arjuna.
Setelah
pasang tenda dan beresin barang-barang, kami siap-siap buat summit attack ke
Welirang. Pas mau ninggalin Lembah Kidang, penghuni tenda tetangga kami datang.
Mereka abis dari puncak Arjuna.
Sambil
senyum saya bilang gini, “Mas kami ke puncak dulu, nitip tenda mas ya”.
“Oh
iya mas siap-siap, hati-hati mas”, jawab salah satu dari mereka.
“Oke
mas, makasih”, timpal saya.
Lalu
si Idang bilang ke saya, “Ngapain bilang nitip segala, mereka lah mau pulang”
.
.
“Masa
sih? Yowes rapopo”, jawab saya nggak percaya.
Kemudian
kami mulai mendaki ke puncak. Pas sampai di Pondokan, anak SMK yang bareng kami
masih ada. Bilangnya mau ke puncak, tapi masih di Pondokan. Ternyata yang ke
puncak cuma 2 orang termasuk yang jalannya bedas
itu. Sedangkan yang 2 lainnya nggak ikut.
Menurut
info yang saya dapat, dari Pondokan ke Puncak Welirang memakan waktu sekitar 3
jam. Jauh lebih singkat dari pada ke Arjuna si puncak PHP. Jalurnya udah bukan
jalannya mobil Jeep lagi. Jalurnya berganti jadi jalan setapak yang menanjak
terus, tapi agak lebar.
Jalur
ini juga yang digunakan para penambang belerang buat ke kawah Welirang. Mereka biasanya
sampai sore masih bolak-balik menambang. Ya sore hari mereka balik ke
Pondokanlah. Jadi kalau ndaki pas jam-jam kerja mereka, selagi ketemu mereka
jalan yang dilewati InshaAllah bener. Secara mereka udah hapal medan.
Meskipun
kami nggak bawa beban banyak. Bawa yang penting-penting aja sama barang
berharga, tapi tetep aja nggak mudah. Mana jalannya menanjak terus.
Ditengah
perjalanan kami bertemu dengan 2 pendaki yang anak SMK itu, mereka turun. Saya
pikir ini anak cepet banget jalannya udah turun lagi. Tapi taunya mereka nggak sampai
puncak, balik lagi akibat cuacanya berkabut tebal. Jarak pandang cuma beberapa
meter. Kami mah pantang mundur sebelum melihat langsung sendiri. Siapa tau
nanti sampe sana kabutnya udah ilang kan.
Saat
sampai di area yang cukup luas dan banyak ditumbuhi edelweiss, cuacanya
bener-bener berkabut, meskipun ngga setebal yang diomongin anak SMK itu. Kami
istirahat sejenak sambil mengabadikan momen. Tempatnya keren. Edelweiss
dimana-mana dan diselimuti kabut. Dramatis banget!
Tebel kabutnya
Padang Edelweiss
diselimuti kabut
Lalu
kami lanjut lagi. Dan ternyata yang diomongin anak SMK tadi bener. Kabutnya
tebal sekali. Jarang pandang mungkin hanya 5 meter. Kami pun berjalan
pelan-pelan, karena ada jalan yang harus melipir di pinggir tebing gitu. Keren
sih pemandangannya dari situ. Tapi ngeri juga pinggirnya jurang, mana jalannya
nggak keliatan. Salah langkah nanti tinggal nama.
Setelah
itu medannya benar-benar terbuka, tapi kami nggak bisa lihat apa-apa karena
jarak pandang terbatas akibat kabut tebal. Arah ke puncak juga nggak tau
kemana. Kami nggak nemu tanda arah ke puncak gitu. Terus kami nyari titik yang
sekiranya paling tinggi. Lalu kami berhenti di sebuah titik yang kami anggap
tertinggi. Kami nggak tau itu puncak atau bukan, nggak ada tanda-tanda itu
puncak sih. Tapi ya gimana lagi, jalannya nggak keliatan. Daripada hilang
ditelan kabut, kami mendeklarasikan saja titik itu sebagai Puncak Welirang. Toh
viewnya bakal sama aja, ketutup kabut. Heuheu..
Nggak bisa lihat
apa-apa
Akhirnya
kami istirahat disitu, nyemil disitu, foto-foto disitu. Dengan asumsi, itu
adalah Puncak Welirang. Selagi duduk-duduk disitu, kabut perlahan menipis.
Pemandangan di depan kami mulai terlihat. Di depan kami ini sepertinya kawah,
lalu ada kayak kolam gitu yang jaraknya lumayan jauh.
Kabut menipis
Kemudian
yang membuat saya kecewa muncul. Disebrang kami ada titik yang lebih tinggi
dari yang kami injak saat itu. Saya jadi benar-benar yakin kalau yang saya
injak bukanlah Puncak Welirang. Tapi yah nggak apa-apa, syukur-syukur udah bisa
sejauh itu. Kalau dilanjutin juga nggak yakin dengan cuaca berkabut gitu, mana
hari udah sore juga. Daripada kemalaman di jalan, kami lalu balik ke Lembah
Kidang.
Sebelumnya
saya udah cerita pas nitip tenda ke pendaki di Lembah Kidang. Faktanya pas kami
balik ke Lembah Kidang, mereka udah nggak ada. Udah pulang. Bener juga kata si
Idang, ngapain saya bilang nitip. Untung mereka nggak salah paham. Mereka mau pulang,
terus dititipin tenda. Tapi karena udah dapat amanah, bisa aja mereka jadi
takut dosa kalau tendanya ditinggal, jadilah tendanya dibawa pulang. Yah, itu
hanya pikiran liar saya saja.
Di
Lembah Kidang nggak ada orang lain lagi selain kami bertiga. Suasana sunyi
senyap. Sumber air di Lembah Kidang yang sewaktu saya ke Arjuna airnya mengalir
kecil, kali ini karena musim hujan alirannya jadi lumayan deras. Sampai-sampai
suara alirannya terdengar ke dalam tenda. Ya, malam itu hanya suara aliran air
yang menemani kami menghangatkan diri di dekat api.
Sesudah
makan malam kami langsung tidur, karena rencana kami dini hari akan summit lagi
ke Arjuna. Tapi saya merasakan hawa-hawa nggak yakin dari wajah Eko dan Idang,
begitu juga dengan saya sendiri. Tapi kami tetap sepakat pada rencana. Sebelum
tidur, saya pasang alarm jam 00.30. Lalu kami semua tidur.
Tapi
malam itu saya nggak bisa tidur. Mata udah dipaksain merem sih, tapi tetep aja
nggak tidur. Sekalinya tidur, kebangun beberapa kali. Malam terasa begitu
panjang. Terus pas jam 00.30, alarm saya bunyi dan langsung saya matikan
seketika. Ini waktunya summit ke Arjuna, tapi saya ragu. Lalu saya tanya Eko
dan Idang mau summit atau nggak. Ayo aja katanya sih, tapi jawabannya
meragukan. Saya tanyakan sekali lagi. Terutama Eko, cuma dia belum pernah ke
Arjuna diantara kami bertiga.
“Ko,
gimana? Muncak gak? Kalau aku kok males ya”, tanya saya.
“Ya
udah Ham ngga usah, mending tidur aja”, kata Eko.
“Tenan
a?”, kata saya menegaskan.
“Iyo”,
jawab dia.
Si
Idang juga setuju-setuju aja. Akhirnya kami lanjut tidur. Dan siapa sangka,
setelah itu saya baru tidur pulas sampai pagi tanpa kebangun sama sekali.
Paginya
kami leyeh-leyeh agak lama di Lembah Kidang. Lalu sesudah sarapan dan packing
logistic, kami pulang dengan selamat ke asal masing-masing.
Chef Idang
Leyeh-leyeh
Pendakian
kali ini, meskipun saya nggak sampai puncak. Sampai sih, tapi puncak versi saya
sendiri. Setidaknya saya mendapatkan pelajaran. Ketika saya memiliki keinginan
atau ambisi, saya akan terus berusaha untuk mencapainya. Tapi jika kondisinya
memang benar-benar tidak memungkinkan dan mungkin saja akan berakibat buruk
bila dilanjutkan, lebih baik mundur dulu dan mencoba di lain kesempatan.
Dalam
kasus saya, sewaktu saya ingin sekali ke Puncak Welirang, tapi kondisinya
berkabut sangat tebal. Sampai-sampai jarak pandang hanya beberapa meter. Dari
pada lanjut tanpa tahu arah, lebih baik saya berhenti dan mencoba lagi di lain
waktu. Karena mungkin saja jika saya memutuskan lanjut dengan kondisi begitu,
ada beberapa hal buruk dalam pikiran saya. Pertama, dengan kondisi kabut tebal
seperti itu jalan jadi nggak kelihatan, yang terjadi adalah saya salah langkah
dan jatuh terperosok ke kawah atau jurang. Kedua, masih akibat kabut, saya
terpisah dengan yang lain, lalu saya nyasar dan hilang ditelan kabut. Dan masih
ada lagi pikiran liar saya kalo lanjut
ke puncak.
Karena sesungguhnya
tujuan akhir dari sebuah pendakian adalah kembali ke rumah dengan kondisi selamat. Puncak hanyalah bonus.
0 comments: