Mendaki Rinjani #3: Sebuah Perjuangan Mewujudkan Impian
Kami udah
berjuang sekuat tenaga mendaki sampai Plawangan Sembalun. Perjalanan nggak
mudah, nyaris 12 jam kami mendaki. Akhirnya kami bisa lakuin hal yang udah
dibayangkan selagi di perjalanan. Ya, molooor. Merem sekali aja langsung pergi
dari dunia nyata. Saking lelahnya.
Malam itu saya
tidur dibalik SB (bukan Sleeping Bag, tapi Sarung Bro), mengenakan kupluk, kaos
kaki, sarung tangan, selapis celana dan 3 lapis baju. Pertama, kaos lengan
pendek yang saya pakai selama perjalanan. Lapis kedua, saya pakai kaos berlengan
panjang. Dan yang terakhir saya kenakan adalah kemeja. Saya nggak pakai jaket. Bukan
karena ketinggalan tapi emang sengaja nggak saya pakai, soalnya saya rasa
segitu cukup untuk nahan dinginnya malam Plawangan Sembalun di ketinggian
2900mdpl.
Saya bisa begitu
berkat aklimatisasi yang saya lakuin sejak pertama kali berangkat dari Malang.
Saya cuma kaosan lengan pendek meskipun sedang perjalanan malam, termasuk saat mendaki
malam-malam di bukit penyesalan. Nggak pernah sekalipun saya pakai jaket ataupun
rangkap baju lain. Itu artinya, aklimatisasi saya berhasil. Yeay!
Jam 3 pagi saya
bangun gara-gara bunyi alarm hp saya yang berisik banget. Tapi langsung saya
matikan. Males banget mau bangun, mana dinginnya jadi tambah parah. Saya
langsung nyari jaket sebelum membeku. Kondisi begitu jadi malas untuk bangun,
sebaliknya, malah jadi nyaman untuk tidur. Beberapa saat setelah matiin alarm.
Saya bangun, saya lawan rasa malas itu. Daripada menyesal dikemudian hari gagal
muncak karena keenakan tidur. Kan konyol. Mana udah jauh-jauh ke Lombok. Nggak
masalah sih, yang jadi masalah itu perkara ongkos. Ehm, mahasiswa.
Lalu saya
bangunin yang lain yang masih pada bobo cantik. Baru setelah itu kami siap-siap
summit attack. Kami masukan semua barang ke dalam tenda, termasuk alat masak
dan makan yang masih kotor. Soalnya saya dengar-dengar dari pendaki lain, di
Plawangan Sembalun suka ada kera yang ngerusuh. Kera-kera itu nyari makanan,
bahkan ada kejadian sampai masuk ke dalam tenda. Dang, kondisikan saudaramu!
Persediaan air
kami menipis, tinggal sisa semalam. Tersisa 1 botol ukuran 1.5L dan beberapa
botol ukuran di bawah 1L. Selain itu kami bawa makanan ringan seperti roti dan
biskuit. Setelah persiapan selesai, kami berdo’a dulu sebelum mulai summit
attack.
Kami termasuk
pendaki yang summitnya telat, selain pendaki tetangga tenda kami yang masih
siap-siap saat kami berangkat. Soalnya udah banyak pendaki yang berangkat
duluan, kelihatan dari cahaya senternya yang udah jauh di atas. Yang udah
sampai puncak juga mungkin ada.
Awal-awal kami
melewati trek yang masih landai. Sepanjang jalan itu banyak tenda-tenda yang
berdiri di kanan-kirinya. Tapi nggak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya,
mereka udah berangkat. Kecuali para porter yang sedang tidur maupun yang lagi
menghangatkan diri dekat api.
Setelah itu kami
mulai melewati medan yang menanjak, jalannya pun berganti menjadi pasir
berbatu. Sekitar 2 jam berlalu matahari terbit dan kami akhirnya sampai di
puncak. Awalnya saya kira itu beneran puncak. Taunya puncak bohongan. Karena
disitu hawa-hawanya emang udah kayak puncak gitu. Gunung Baru Jari udah kelihatan.
Tapi itu ternyata belum setengahnya dari perjalanan ke puncak.
Perjalanan
semakin berat saat panas matahari udah mulai meyengat. Panasnya minta ampun.
Mana air yang kami bawa udah habis. Langkah semakin melambat, udah lemas banget
rasanya. Gara-gara dehidrasi. Saya terpaksa meminta seteguk (tapi banyak) air
pada pendaki yang udah turun. Memang sungkan, tapi mau gimana lagi. Untungnya
mereka baik hati. Bahkan ada pendaki yang tanpa diminta menawari airnya pada saya.
Ya, dia tahu dari muka saya yang melas-melas hampir tumbang.
Selama summit
attack, tiap kali berpapasan dengan pendaki yang turun, mereka selalu ngasih
semangat. Ini yang saya suka saat digunung, rasa kemanusiaan sangat kuat meskipun
nggak saling kenal.
Tanjakan maut
Akhirnya saat
waktu nunjukin jam 11 WITA saya berhasil menginjakkan kaki di Puncak Rinjani!
Saya sangat bersyukur, impian saya untuk mendaki Rinjani dapat terwujud. Itu
jadi momen bersejarah bagi saya. Nggak bisa diungkapkan oleh kata-kata perasaan
saya saat itu. Pemandangan dari puncak benar-benar wonderful. Danau segara anak,
gunung baru jari, sampai Gunung Agung yang ada di pulau tetangga alias Bali
kelihatan. Saya senang bukan kepalang. Perjuangan saya terbayar sudah!
Saat sampai di
puncak, cuma ada saya dan 3 orang pendaki tetangga tenda. Mereka dari Bandung.
Mungkin kasihan ngelihat saya yang dari tadi melirik terus air minum mereka,
mereka jadi ngasih air setengah botol untuk saya. Alhamdulillah, mereka peka
banget. Hatur nuhun, Lur!
Setelah puas di
puncak, mereka turun. Sedangkan saya masih nunggu yang lain, karena baru saya
yang sampai puncak. Lalu beberapa saat Yogi sampai puncak, dia sempat ketiduran
katanya saat di jalan makanya lama. Kemudian di susul Idang yang lari-lari ke
puncak setelah saya lambai-lambaikan botol berisi air.
Ini saya
Ini Idang
Ini Yogi
Yeah!!
Sayangnya kami
nggak lengkap di puncak, Rahman dan Saifud nggak sampai. Rahman memutuskan
berhenti sebelum tanjakan pamungkas dan nunggu disitu. Emang sih tanjakannya
tinggal itu doang, tapi masih jauh lagi dari situ. Sedangkan Saifud, dia
kembali ke Plawangan Sembalun setelah sampai setengah jalan. Karena kondisi dia
yang kurang fit. Nggak apa-apa guys, nanti kita balik lagi!
Ini Rahman
Ini Saifud
Tanjakan Pamungkas
Saya, Yogi dan
Idang agak lama di puncak, menikmati Puncak Rinjani yang sepi. Cuma ada kami
bertiga doang, pendaki lain udah pada turun. Di puncak saya nggak ngerasa
dingin. Nggak kayak saat di Puncak Semeru yang bawaannya dingin banget. Mungkin
karena saat di Semeru saya sampai puncak masih pagi dan angin disana kenceng,
makanya dingin. Sedangkan saat sampai puncak Rinjani, saya sampai siang hari
dan nggak ada angin. Nggak tau kenapa.
Satu jam kami di
puncak. Kemudian kami turun dengan gaya sand skating, seperti saat di Semeru.
Kami bertemu Rahman yang lagi asik foto-foto sambil menunggu kami. Lalu kami
berempat kembali ke camp. Sudah kodratnya, perjalanan turun jauh lebih cepat
dari pada naik. Saat naik saya habiskan waktu sekitar 8 jam. Tapi saat turun?
Nggak sampai setengahnya, cuma 2 jam. Sakitnya tuh di kaki, mau lepas.
Sand skating
Ada kejadian
konyol saat kami turun dari puncak. Saat mulai memasuki kawasan yang ada
pepohonannya, kami bertemu monyet. Banyak. Mereka melototin kami dengan tatapan
kelaparan dan wajah yang sangar. Waduh bahaya, masa iya pendakian ini berakhir
menjadi santapan kera. Udah punya firasat nggak enak, kami semua kabur. Lari
sekuat tenaga. Dan itu sebuah kesalahan, kera-kera itu mengejar kami. Loncat
dari pohon ke pohon. Saya jadi ngeri membayangkan salah satu kera itu loncat ke
kepala saya, lalu memakan kepala saya.
Setelah lumayan jauh
balapan sama monyet, mereka menyerah, mereka nggak ngejar lagi. Syukurlah kami
nggak dijadikan makan siang mereka. Pertama kali saya ketemu monyet
ngejar-ngejar ganas gitu. Ngeri.
Setelah sampai
camp, kami semua tidur saking lelahnya. Mengabaikan rencana awal kami yang
sebenarnya akan ke Danau Segara Anak sorenya. Kami putuskan untuk bermalam lagi
di Plawangan Sembalun dan nggak turun ke Segara Anak. Sayang memang udah
jauh-jauh tapi nggak nyoba mancing di Segara Anak, apalagi disana sumber air
panas yang bisa di pakai untuk berendam. Yah, tapi melihat kondisi kami yang
udah babak belur dan ada 1 teman kami yang kurang sehat. Lebih baik kami pulang
dari pada terjadi hal yang buruk. Mungkin itu juga sebuah pertanda bahwa saya harus
kembali ke Rinjani. Ya semoga saja, suatu hari.
Esoknya kami
pulang kembali lewat Sembalun. Sempat kebingungan saat turun dari pos 1 ke
Sembalun Lawang. Seingat saya sepanjang jalur itu nggak ada hutan, yang ada
cuma padang rumput. Tapi kami tiba-tiba memasuki hutan lebat. Setelah bertanya
pada porter yang kebetulan turun bareng kami, ternyata kami turun ke jalur
Bawak Nao. Kami salah memilih jalan saat ada persimpangan. Tapi lewat situ
emang lebih cepat. Kami sampai di Desa Bawak Nao di waktu Maghrib. Lalu kami
pulang di jemput lagi sama Mas Setiawan dan langsung tepar saat sampai di rumah
Yogi.
Pagi di Plawangan Sembalun
Setelah melewati
panjangnya padang savanna diteriknya matahari, bukit penyesalan yang tak kenal
ampun, dan terakhir medan pasir berbatu yang menanjak terus seakan tak ada
habisnya. Saya belajar bahwa untuk mewujudkan impian diperlukan sebuah perjuangan
yang besar, mental yang kuat, juga tekad pantang menyerah dan disertai do’a
agar bisa menggapai mimpi tersebut.
Sebuah
perjalanan dari Jawa ke Lombok untuk menggapai sebuah impian, yaitu Rinjani. Rinjani
memang cantik. Namun, dibalik keindahannya itu ada sebuah ujian yang harus saya
hadapi. Berjuang dengan segala daya dan upaya. Pada akhirnya, perjuangan itu
terbayar sudah ketika berhasil menjejakkan kaki di puncak setinggi 3726 mdpl.
Terima Kasih, Rinjani!
0 comments: