Mendaki Rinjani #2: Sebuah Ujian Bernama Rinjani
Selesai mengurus
simaksi, kami packing ulang barang bawaan. Setelah memastikan nggak ada barang
yang tertinggal, kami siap untuk mendaki. Mas Setiawan yang sedari tadi
menunggu, kami pamiti. Yogi menitip pesan kepadanya supaya nanti 4 hari lagi
menjemput di Senaru. Dia pun pamit untuk pulang dan meneteskan sebutir air mata,
dia sedih melepas keberangkatan Yogi. Maklum, ini pendakian perdana bagi Yogi.
Rencana kami
akan ngecamp di Plawangan Sembalun. Saya sempat tanya-tanya sama rangernya
TNGR. Dia menyarankan kami untuk camp di pos 1 atau pos 2. Khusus di pos 2,
disitu ada sumber airnya. Karena jarak ke Plawangan Sembalun jauh banget dari
Sembalun Lawang. Setelah didiskusikan kami putuskan tetap pada rencana awal
kami. Tapi kalau emang kondisi kami udah drop dan nggak bisa lanjut, kami akan
camp disitu juga.
Kami memulai
pendakian sekitar jam 11 WITA. Saya dapat firasat nggak enak. Jam-jam segitu
matahari udah ada di atas kepala, lagi panas-panasnya. Perjalanan diawali
melewati jalan beraspal yang udah berlubang-lubang. Dari situ, saya udah di
perlihatkan pemandangan yang luar biasa. Rinjani di depan mata! Semangat
saya berapi-api. Gunung yang selama ini saya impikan untuk saya daki, akhirnya
saya bisa bermesraan dengannya beberapa hari kedepan. Tapi setelah di
pikir-pikir, jarak kami saat itu dengan Rinjani masih jauuuh. Jauh di mata, tapi dekat di hati. *langsung loyo*
Rinjani jauh di mata
Setelah jalan
aspal habis, kami memasuki jalan makadam yang kanan-kirinya adalah ladang milik
warga setempat. Baru aja kami jalan beberapa menit, Idang perutnya bermasalah.
Pengen boker. Alhasil kami menepi sebentar nunggu Idang memenuhi panggilan
alamnya. Untungnya disitu banyak semak-semak yang rimbun, jadi dia bisa boker
tanpa kelihatan.
Idang sembunyi
di balik semak-semak
Perjalanan
dilanjut, kami memasuki trek dengan jalan setapak berdebu dan padang savanna
disekelilingnya. Wah, saya excited banget. Saya sering lihat foto orang di
Rinjani, salah satunya di padang savanna-nya ini. Di foto-foto itu terlihat
keren abis padang savanna-nya, fotogenik banget. Membayangkannya saja saya
serasa ada disana. Nikmat sepertinya, tiduran di padang rumput nan luas sambil
memandang awan yang terbang bebas di langit. Ahh.. dulu itu cuma angan-angan.
Lalu saat saya
benar-benar ada disana, nyata, bukan hanya lamunan. Saya berubah pikiran, saya
ogah lama-lama di padang savanna. Panasnya bukan main. Matahari sedang menguji
kami, membakar habis kami semua yang sedang ndaki Rinjani. Emang sih
pemandangannya keren banget. Tapi jangankan foto-foto, berhenti sebentar aja
nggak mau. Pengennya cepat-cepat nyari tempat yang teduh untuk istirahat.
Nahasnya, kami
nggak nemu tempat yang teduh. Namanya juga padang savanna, padang rumput.
Isinya ya rumput semua. Kalau pun ada pohon itu jarang banget. Sekalinya nemu jaraknya
jauh dari jalur. Maklum, kami mendaki di bulan Agustus. Puncaknya musim
kemarau, lagi panas-panasnya. Kesalahan kami juga nggak bawa sunblock, alhasil
kulit kami terbakar, mengelupas. Terutama kulit di wajah.
Padang Savanna
Hamparan padang
rumput
Dari info yang saya dapat, Sembalun
Lawang ke pos 1 itu sekitar 3 jam. Dan info itu benar, kami tempuh sekitar 3 jam. Tapi kondisi di lapangan serasa lama banget.
Meskipun medannya bisa dibilang landai, nggak menanjak. Tapi jaraknya itu jauh.
Mana panas, dan itu bikin cepat haus. Alhasil, persediaan air menipis dengan
cepat.
Jam 2 WITA kami
sampai di pos 1 dengan kondisi 5L. Lesu, loyo, lelah, lieur dan lapaaar. Disitu
ada beberapa bangunan yang bisa digunakan untuk isirahat. Dan yang paling
penting terhindar dari sengatan matahari. Fiuh, akhirnya dapat tempat berteduh
juga. Di pos 1 kami mengisi perut dulu sebelum lanjut perjalanan.
Makan siang pos
1
Selepas pos 1,
medannya nggak jauh beda dari sebelumnya. Sejauh mata memandang cuma padang
savanna. Matahari juga masih menggelantung diatas kepala kami. Nggak lama
setelah meninggalkan pos 1, kami melihat pos 2 di kejauhan. Awalnya saya nggak
percaya, tapi kami yakin yang kami lihat adalah bangunan untuk istirahat
seperti yang ada di pos 1. Pada akhirnya saya percaya, karena sekitar 30 menit
kemudian kami sampai di pos 2
Suasananya
ramai, banyak pendaki yang istirahat dan sedang mengisi stok air. Ya, selain di
Plawangan Sembalun, di pos 2 juga ada sumber air. Disini kami juga mau refill
persediaan air. Tapi karena musim kemarau, air yang mengalir kecil. Akibatnya
mau ngisi air harus ngantri. Untuk ngisi satu botol 1.5L aja lama banget. Harus
sabar, orang sabar di sayang Tuhan.
Sumber air pos 2
Jembatan di pos
2
Kemudian kami
lanjut perjalanan lagi ke pos 3. Medannya masih sama, bedanya matahari udah
nggak segalak sebelumnya. Lumayan. Sejam kemudian kami sampai di pos 3, saya
senang banget, target kami udah dekat. Disitu juga kami ketemu sama teman kami
dari Tasik. Mereka lagi istirahat. Akhirna katimu oge Mang, nya. Sambil
ngobrol-ngobrol, saya baru tau kalau disitu bukan pos 3, tapi pos bayangan.
Elah, ngapain juga ada pos bayangan coba. Kan PHP banget, udah seneng-seneng
taunya bukan pos 3.
Tapi pos 3 nggak
jauh dari situ, sekitar 10-15 menit jalan nyantai. Di pos bayangan kami lanjut
duluan, karena Mamang Tasik masih masak-masak. Sesampainya di pos 3, kami di sambut
oleh saudara jauh Idang. Wih, Idang emang keren, di Rinjani aja punya saudara.
Ya, dia adalah kera. Nggak tau awalnya kapan dan darimana, kalau lagi naik
gunung terus ketemu monyet pasti identik dengan Idang. *peace ah*
Lucu yah
Dari sini, kami
dihadapkan pada satu rintangan terakhir sebelum Plawanan Sembalun. Rintangan
yang bakal menjatuhkan mental siapapun jika tidak punya tekad yang kuat. Ya,
dialah Bukit Penyesalan. Ada 7 bukit yang akan menguji para pendaki. Ngomongin
soal penyesalan, menyesal itu selalu ada di akhir. Tapi nggak dengan bukit ini.
Dijamin nyesel di awal! Dengan trek menanjak yang tak ada habisnya dan melewati
7 bukit sungguh bukan perkara yang mudah.
Gara-gara
keseringan break, kami sampai kesusul sama Mang Tasik. Dia bilangnya sih gini
waktu ketemu di pos bayangan, “Urang mah nyantai wae lah, maklum faktor U. Sok
weh nu ngora mah tipayun”. Iya sih bilang begitu, tapi tau-tau udah nyusul aja. Di
bukit penyesalan pula. Tapi sepertinya perkataan dia benar, setelah berhasil
nyusul kami sekali. Mereka nggak pernah muncul lagi batang hidungnya. Mereka
pasti memutuskan ngecamp di tengah perjalanan.
Sampai langit
menjadi gelap pun kami masih di tengah perjalanan dan nggak tahu masih seberapa
jauh ke Plawangan Sembalun. Mana nggak banyak pendaki yang ndaki di sekitar
kami, cuma ada 2 rombongan yang masih berjuang seperti kami.
Hari semakin
malam tapi kami belum sampai juga. Kondisi fisik udah lelah banget, tiap kali
break bawaannya pengen tidur. Apalagi kalo merem, pasti ketiduran saking
capeknya. Saifud yang paling drop, tiap break dia merem dan ketiduran. Tapi terus kami
semangati.
Hingga akhirnya
di sebuah tanjakan yang nggak terlihat ujungnya terdengar suara. Bukan suara
lolongan srigala apalagi suara kentut. Ya, itu suara orang. Di ujung tanjakan
itu pasti Plawangan Sembalun, saya yakin. Dan benar saja, itu Plawangan
Sembalun. Akhirnya kami sampai juga setelah menghadapi bukit penyesalan selama
6 jam! Jam 10 malam WITA kami mengakhiri perjalanan hari itu. Dengan rasa lega,
bukan penyesalan.
Tanpa pikir
panjang, kami langsung mendirikan tenda nggak jauh dari tanjakan terakhir.
Langsung menghadap Danau Segara Anak. Luar biasa. Kami sempatkan makan malam
dan membuat api sebelum tidur. Saya membuat api ala kadarnya, cuma bakar kertas
dan sampah yang ada.
Makan malam
Setelah melalui
perjalanan nyaris 12 jam di uji oleh trek Rinjani yang tanpa ampun, nggak bisa dibohongi kondisi kami sangat lelah. Udah nggak
bisa ngapa-ngapain lagi. Maka seketika itu pula kami pergi ke dunia lain. Dunia
mimpi.
Gondes
BalasHapusbiyen ora cuk
Hapus