Mendaki Rinjani #1: Sebuah Perjalanan Menuju Timur Indonesia
Siapa yang nggak tahu Gunung Rinjani? Gunung yang masuk list ‘1000
place to see before die’ ini adalah gunung berapi tertinggi ke-2 (3726 mdpl) di
Galaksi Bima Sakti. Bukan, di Indonesia, setelah Gunung Kerinci. Pesona Rinjani
emang membuat banyak orang memasukannya dalam bucket list. Bukan cuma orang Indonesia aja, turis mancanegara juga
banyak yang datang ke Rinjani. Jangan heran kalau kesana banyak banget bule,
yang kebanyakan dari Eropa.
Karena keindahannya, nggak sedikit pendaki gunung saat dikaruniai seorang anak menamai Rinjani sebagai nama anaknya. Keponakan, teman, juga anaknya teman saya (Bang Andi, teman ndaki di Slamet) menamai anaknya dengan Rinjani. Oh, Rinjani..
Saya yang juga punya mimpi untuk ndaki Rinjani akhirnya
kesampaian di musim panas tahun 2014. Bersama 4 orang teman, saya ndaki selama
3 hari tepatnya pada tanggal 13-15 Agustus 2014.
***
Kala itu saya sedang menjalani libur
semester genap yang maha panjang, hampir 3 bulan. Bayangkan, di rumah selama
itu dan nggak melakukan apapun itu rasanya seperti ngabugang kalau kata basa sunda mah. Alias ngebangke. Akhirnya
proses pembugangan saya berakhir saat saya pergi ke Lombok. Yuhuuu, Rinjani
sudah memanggil!
Beberapa hari sebelum keberangkatan,
saya sempat ragu dengan kondisi kaki saya. Penyebabnya adalah sekitar seminggu
sebelum berangkat saya malah ndaki Gunung Ciremai dan itu via jalur Linggajati.
Tau sendiri jalur itu ‘neraka’ banget. Besoknya setelah dari Ciremai, hati saya
sakit. Eh kaki saya maksudnya, sakit selama beberapa hari. Untungnya saat
berangkat kaki saya udah agak baikan.
Perjalanan di mulai dari Malang. Saya,
Idang, Rahman dan Saifud berangkat dengan pesawat ke Lombok. Bohong deng, kami
menuju Lombok dengan jalur darat juga nyebrang laut. Itu satu-satunya pilihan
yang kami mampu dari sisi finansial. Ehm, mahasiswa.
Di stasiun Malang, saya melihat banyak
orang yang menggendong carier. Saya yakin pasti ada yang punya tujuan sama
kayak kami. Dan benar, kami bertemu 3 orang dari Tasikmalaya (cihuy ada yang
bisa diajak ngobrol basa sunda) yang akan mendaki Rinjani juga. Sedihnya, saya
lupa nama mereka semua. Maklum otak kiri kan emang gitu. Tapi muka InshaAllah
ingat (kalau ketemu lagi).
Mulai dari kereta, bus dan kapal Ferry
kami jajal. Cuma saat naik Ferry aja saya merasa nyaman di perjalanan. Soalnya
di kapal itu leluasa banget. Nggak duduk terpaku kayak di kereta, apalagi di
bus. Di Ferry saya bisa nonton layar tancep (padahal mah tv) yang disediakan di
dalam kapal. Selain itu bisa juga jalan-jalan berkeliling kapal sambil melihat
pemandangan disertai angin laut yang kencang. Kalau mau yang agak menantang,
coba aja nyetir kapalnya, minta izin dulu sama nahkodanya. Asal akhirnya nggak
kayak Titanic aja.
Berlayar mengarungi laut
Ada kejadian kurang enak yang menimpa
Rahman saat sampai di Pelabuhan Gilimanuk Bali. Disana saat turun di cek
‘identitas’ dulu sebelum keluar pelabuhan. Tulisannya sih cuma ‘identitas’ aja.
Nah Rahman ini dia nggak ada KTP, jadi dia nunjukin SIM. Toh SIM juga kan
identitas yah. Tapi petugasnya nggak mau, kekeuh harus KTP. Petugas itu meminta
sesuatu, lalu Rahman ngeluarin dompet dan dikasihlah petugas itu selembar
‘kertas berwarna hijau’. Rahman pun dilepaskan oleh petugas tersebut.
Pelabuhan Ketapang Banyuwangi
Setelah kejadian itu kami langsung
menuju terminal, cari bus ke Padang Bai. Kami beruntung, busnya belum berangkat
dan itu bus terakhir. Tapi saat masuk, kami nggak jadi beruntung. Busnya udah
penuh, terpaksa kami duduk di kursi kayu panjang. Kesialan belum selesai,
karena cuma saya yang nggak kebagian duduk di kursi kayu itu. Daripada berdiri,
saya jadikan aja carier sebagai kursi darurat. Dari situ saya berpikir, ternyata
carier itu multifungsi.
Perjalanan Gilimanuk ke Padang Bai
dengan kondisi begitu sangat menyiksa. Mana sopirnya ugal-ugalan. Ngeri. Saat tiba
di Terminal Ubung, ada beberapa orang turun. Salah satu dari mereka kehilangan
ponselnya. Nggak terima dengan kenyataan, dia dan teman-temannya pengen ngecek
tiap penumpang. Tapi di protes para penumpang lain karena bakal makan waktu
lama. Jadi akhirnya cuma ngecek seorang bapak yang duduknya disamping orang
yang kehilangan ponsel. Hasilnya nihil. Si bapak dari awal emang udah jujur
nggak ngambil dan emang bener saat di periksa nggak ada ponselnya.
Yang jadi masalah itu mungkin di
ponselnya masih ada foto mantannya. Lalu dia takut ada yang nemuin dan laporin
ke pacarnya. Makanya dia ngotot sampai-sampai mau ngecek penumpang satu per
satu. Berkat itu pula seluruh penumpang terbuang waktunya selama lebih dari 30
menit.
Jalan darat emang banyak hal nggak
diduga. Saat udah dekat pelabuhan Padang Bai, jalanan macet. Ngantri panjang,
orang-orangnya pada keluar dari mobil. Mana mesinnya dimatiin pula. Wah ini
firasat buruk. Benar saja, ini emang bakal lama. Kami disuruh turun sama sopir,
jalan kaki. Untungnya pelabuhan udah deket. Tapi peruntungan kami cuma bentar.
Sampai pelabuhan, belum ada satu pun kapal Ferry. Katanya sih gara-gara cuaca
buruk, kapalnya belum ada yang datang. Kami terpaksa harus nunggu lagi.
Menunggu kapal Ferry yang nggak jelas kapan datangnya ini sama kayak lagi
nunggu jawaban dari gebetan.
Pelabuhan Padang Bai
Setelah perjalanan hampir 24 jam, kami
sampai di Pelabuhan Lembar pada siang hari. Disini kami tinggal menunggu Yogi
menjemput, teman saya yang emang tinggal di Mataram. Dia juga akan ikut ndaki
bareng kami. Di pelabuhan ini juga kami berpisah dengan 3 orang dari Tasik itu.
Karena mereka langsung ke Sembalun, sedangkan kami numpang tidur dulu di rumah
Yogi. Saya pun berjabat tangan dengan mereka dan bilang “Engke katimu di
Rinjani Mang, nya?”. Mereka membalas, “Enya Ham, diantos”. Saya panggil dia
‘Mang’ karena mereka jauh lebih tua dari saya. Mang = emang = mamang, artinya
nenek. Ngaco, yang bener artinya paman.
Dari pelabuhan ke rumah Yogi jaraknya
lumayan jauh. Kami yang udah mabok perjalanan gara-gara nggak bawa antimo,
langsung tepar tak berdaya begitu sampai di rumah Yogi. Keluarga Yogi menyambut
kami dengan sangat baik. Malam harinya kami dijamu. Kami diajak makan di sebuah
restoran di Mataram. Yang kalau saya kira-kira, harga sekali makan disitu cukup
untuk makan seminggu bagi kami. Ehm, mahasiswa.
Kami makan makanan khas Mataram, khas
Lombok, yang saya lupa makan apa aja disitu. Banyak banget soalnya, saya cuma
ingat sambalnya. Sambal disana ketika masuk mulut nggak terasa pedas untuk
satu, dua atau tiga suapan pertama. Baru setelah itu, pedasnya terasa sekali.
Mantap pokoknya. Udah enak, dibayarin pula.
Makaaan!
Di Mataram zona waktunya pakai WITA
alias beda sejam sama WIB. Paginya saya bangun jam 5 karena kebelet boker, saya
heran suasananya masih gelap banget. Lalu nggak lama dari itu, adzan Subuh baru
berkumandang. Maklum saya jarang kemana-mana, nggak terbiasa sama begituan.
Siap berangkat
(kiri ke kanan: Rahman, Saifud,
Idang, Yogi dan Saya)
Jam 7 WITA, kami berangkat menuju
Sembalun Lawang. Titik awal pendakian kami. Kami diantar oleh pegawai orang
tuanya Yogi, Mas Setiawan dengan menggunakan mobil. Perjalanannya lumayan lama,
mungkin ada 3 jam. Meskipun Mas Setiawan bawa mobilnya udah kayak pebalap F1.
Kuenceng, tapi seuseureudeug. Saya
cuma bisa komat-kamit baca do’a aja supaya selamat sampai tujuan.
Melewati kota Mataram, lalu sempat
kejebak di pasar yang rame banget dan agak lega saat sudah masuk kawasan TNGR
(Taman Nasional Gunung Rinjani). Ketika masuk gerbang yang ada tulisan TNGR gitu
saya kira udah dekat, eh taunya masih lumayan jauh.
Ditengah jalan kami sempat membeli
strawberry yang dijual di pinggir jalan. Lumayan, pagi-pagi makan buah. Rasanya
asem-asem manis. Dan itu membuat mata saya merem melek, saking dominan asemnya dibanding
manisnya.
Pemandangan di desa Sembalun
Sesampainya di Sembalun Lawang, kami
langsung urus izin mendaki. Rencana kami mendaki selama 4 hari. Berangkat dari
Sembalum dan turun via Senaru. Saat itu harga tiket masuknya Rp
5000/hari/orang, kalau sekarang kurang paham. Harga segitu jauh lebih murah
dari pada ke Semeru yang harganya Rp 17500/hari/orang.
Persiapan udah beres, kami pun
berangkat. I’m coming, Rinjani!
Pintu Gerbang Pendakian
0 comments: