Pendakian Semeru #4: Sampai Jumpa, Semeru!
Perjalanan
turun dari Kalimati kami balapan sama langit, langit keliatannya mulai nggak
bersahabat. Langit menjadi mendung dan kabut turun menyelimuti Kalimati.
Namanya juga turun, cepet. Nggak kerasa, mana kadang sambil setengah lari. Baru
jalan bentar, tiba-tiba udah sampe lagi di Jambangan. Sampe Jambangan, langit
masih bisa diajak kompromi.
Tapi
begitu masuk kawasan Cemoro Kandang, tiba-tiba aja air turun. Hujan? Kayaknya
bukan, ini cuma sugesti kayak yang di bilang Eko. Soalnya nggak deras, cuma
kayak gerimis aja gitu. Tapi kami tetep jaga-jaga dengan mengenakan mantel.
Juga menyiapkan flysheet apabila hujan deras dan perlu formasi barongsai.
Benar
saja, nggak lama hujan turun dengan deras seketika. Untungnya kami sudah
memakai mantel. Formasi barongsai pun langsung dibentuk. Namun hujan derasnya
hanya beberapa menit, setelah itu gerimis lagi dan terus begitu sampai kami
sampe di Oro-oro Ombo. Ini benar-benar hanya sugesti sepertinya. Dan juga
kenapa hal itu terjadi hanya di hutan Cemoro Kandang? Yah entahlah. Mungkin
cuma embun yang jatuh dari pohon-pohon sehingga seperti hujan.
Abis diguyur
hujan sugesti
Setibanya
di Oro-oro Ombo memang nggak hujan, tapi langit sudah gelap sekali. Awan hitam
ada dimana-mana. Kami harus cepet-cepetan sampai ke Ranu Kumbolo sebelum hujan
turun. Dan benar saja, saat kami akan turun di Tanjakan Cinta (eh Turunan Cinta
deng soalnya lagi turun) hujan beneran turun dengan deras. Kali ini bukan
sekedar sugesti, nyata. Kami berhamburan berlari ke arah salah satu shelter.
Shelternya
nggak luas-luas amat, tapi karena ada pendaki yang seenak jidatnya masang tenda
di dalam shelter, jadinya sempit. Saya nggak ngerti, ngapain bawa tenda kalau
mendirikannya di dalam shelter yang jelas-jelas untuk istirahat pendaki. Kalau
bawa tenda ya pasang di luar, toh kena hujan juga ngga masalah, emang
kegunaanya kayak gitu.
Awalnya
kami ingin langsung gelar tenda. Tapi karena hujan deras, kami terpaksa
menunggu dulu sampai hujan benar-benar reda. Hujannya kayaknya bakal lama.
Karena nggak bisa ngapa-ngapain dan lelah juga, saya tidur dalam posisi duduk.
Lumayan
lama saya tidur sampe akhirnya bangun karena posisinya bikin pegel. Ternyata
hujannya masih deras. Karena lapar, saya membeli pisang goreng di bapak penjual
gorengan. Gilaaa di Ranu Kumbolo ada tukang gorengan. Ini menjadi pisang goreng
termahal yang saya beli. Dengan ukuran yang standar dan juga kondisinya yang
dingin, pisang gorengnya dihargai 2000 rupiah per buahnya. Mahal memang. Tapi
kita hargai usaha bapak yang menjual gorengan ini, karena sudah jauh-jauh ndaki
dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo untuk mencari nafkah.
Akhirnya
hujan reda sekitar jam 5 sore. Kami langsung saja mencari lapak untuk
mendirikan tenda. Seperti biasa, kami bagi tugas. Saya sendiri setelah
mendirikan tenda mengajak Eko mencari kayu untuk membuat perapian untuk
malamnya. Tapi nggak banyak yang kami dapat. Sembari menunggu makan malam
selesai, saya membuat api. Suhu udah dingin banget. Sebagian dari kami malah
udah pada kabur ke dalam tenda.
Setelah
makan malam jadi pun nggak semuanya makan, karena udah PW sama posisinya dalam
tenda. Memang sih, kondisinya udah dingin banget, jadi males untuk gerak.
Pengennya tidur aja sembunyi di balik Sleeping Bag. Karena api yang kami buat
kecil dan kehabisan stok kayu bakar, boro-boro nikmati malam berbintang di Ranu
Kumbolo. Liat ke langit ada bintang atau nggak juga males. Dengan matinya
perapian, kami semua masuk ke tenda masing-masing dan mengambil posisi tidur.
Padahal saat itu masih jam 8an.
Saya
tidur pulas banget malam itu. Biasanya suka kebangun beberapa kali malemnya.
Tapi saat itu saya bangun sekali dan itu pun udah masuk waktu Subuh. Emang
sengaja juga sih bangun pagi, mau nyari Sunrise. Pas keluar tenda, saya
menggigil, dinginnya bukan main. Bergerak jadi solusi, sekalian nyari
persembunyian untuk pipis.
Early Morning
Pas
langit udah terang, saatnya kami hunting foto. Maaf untuk yang kebagian piket
masak, yaitu Idang dan Nafi, kalian masak aja dulu yaa. Saifud ini kena tremor,
pas lagi sesi foto hasilnya pada ngeblur. Yaitu tadi dia tangannya tremor alias
bergetar karena kedinginan. Padahal kami udah bergaya.
Ngeblur kan
KASKUB
Ramenya pagi di Ranu
Kumbolo
Pagi
itu masak mie banyak banget, karena kami nggak pada mau makan nasi. Nggak tau
kenapa. Saking banyaknya, kami taruh mienya di jerigen nemu ukuran 5L. Karena
nggak bakal muat kalau di piring. Makannya pun digilir satu suap tiap orang.
Rio yang awalnya nggak mau makan, nyoba satu suap. Eh dia ketagihan, nambah satu
suap lagi. Hhm, boleh juga mienya Idang.
Pas
lagi sarapan itu, ada pendaki lewat di dekat tenda kami dan berhenti.
Lalu
dia bilang, “Mas, boleh saya foto ya kalian”.
“Oh
iya mas silahkan, emang kenapa mas?”, jawab saya.
“Nggak,
unik aja soalnya saya baru lihat ada yang makan di taruh jerigen”, kata pendaki
itu sambil memotret kami, lalu pergi.
Emang
sebegitu konyolkah kami ya makanan di taruh jerigen? Mana jerigen bekas, nemu
pula. Siapa tahu jerigennya bekas minyak atau bensin. Mati sudah. Mumpung lagi
di gunung nggak apa-apalah, kalau di kota kan nggak mungkin melakukan hal kayak
gitu.
Mie dengan
toping tempe dan telur
Beres
sarapan, kami packing untuk siap-siap pulang. Saat beresin logistik di tenda,
saya kaget karena tiba-tiba ada seekor tikus keluar dari dalam tenda. Itu siapa
yang bawa tikus? Kemungkinannya cuma ada 2. Pertama, itu emang tikus yang hidup
di sekitar Ranu Kumbolo terus masuk ke tenda tanpa sepengatahuan kami. Kedua,
tikus itu ikut dari kota. Masuk ke dalam salah satu carier kami dan baru keluar
pas di Ranu Kumbolo.
Ternyata
itu tikus yang di ributin Rio semalam. Saya tau hal ini dari Saifud. Malam saat
saya tidur pulas, dia beberapa kali kebangun gara-gara Rio nyari senter. Dia
nyari senter karena ngerasa ada tikus di dalem tenda. Saifud yang mikir mana
ada tikus di gunung terus masuk tenda dan mungkin setengah sadar juga, nggak
menghiraukan Rio dan kembali tidur. Dan tikus yang dicari Rio semalam memang
nyata dan baru keluar pagi hari. Mungkin tikusnya kedinginan.
Dari
Ranu Kumbolo kami pulang lewat jalur Ayak-ayak, beda dengan jalur pas
berangkat. Jalur ini melewati bukit dengan tanjakan yang nggak ada habisnya,
tapi setelah itu turun terus sampe Ranu Pani.
Full Team
Threesome,
kencing bareng2 bertiga
Dari
jalur ini juga kami jadi tau kenapa porter atau warga-warga suku Tengger bisa
mendaki dengan cepat dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo. Mereka pake motor. Iya
motor. Jadi mereka naik motor sampe pucuk bukit, abis itu baru jalan ke Ranu
Kumbolo. Motornya mah ditinggal gitu aja. Saat kami turun juga mereka pada
nawarin ojek. Ya kami nggak mau lah. Masa di gunung naik ojek. Sampe puncak
bisa jalan kaki, masa turun ngojek. Kan konyol, nggak afdol pula.
Faisal
sebelumnya sempat berdusta sama orang tuanya. Dia bilang kalau lagi nonton OVJ
bukannya naik gunung. Nah saat perjalanan turun dari bukit Ayak-ayak, dia dapat
telpon dari bapaknya. Bapaknya tanpa basa basi langsung bilang gini, “Sal, kau
kuliah mau belajar atau naik gunung?”. Faisal yang udah kena telak nggak bisa
ngelak, akhirnya dia jujur kalau dia ke Semeru. Tapi setelah kejadian itu dia
jadi dibolehin ndaki. Lalu kalau sebelumnya dia nggak berani pasang foto saat
ndaki di sosmed, setelah kejadian itu dia jadi nggak takut lagi. Meskipun kena
marah, tapi ada hikmahnya kalau jujur. Karena kejujuran itu penting.
Pas
di perjalanan pulang ke Jemplang. Saya yang pengen minum rasa-rasa alias
minuman keruh alias nutrisari nyeduh beberapa bungkus di botol air ukuran 1.5L.
Terus diminum deh, dibagi ke yang lain juga termasuk Eko.
Abis
minum, Eko nanya, “Ham, air yang di botol 1.5L tadi mana?”.
“Ya
ini, udah ku jadiin minuman rasa-rasa”, jawab saya dengan polos.
“Lah
itu kan air Ranu Kumbolo yang sengaja kubawa buat kenang-kenangan”, kata Eko.
“Hahaha
jadi tadi itu air buat di bawa pulang? Sorry ko, abisnya pengen minum
rasa-rasa, kau juga kan minum, ya sudahlah”, jawab saya santai.
Patut
di contoh nih Eko. Dia pulang bawa air danau untuk kenang-kenangan, bukan bunga
Edelweiss ataupun benda lain yang dapat merusak ekosistem di gunung. Yah meskipun
kalau bawa air nggak bakal bertahan lama, tapi setidaknya tidak merusak alam.
4
hari 3 malam sudah kami berada di alam liar. Semeru memberikan pengalaman yang
luar biasa. Berat juga rasanya meninggalkan Semeru di hari terakhir, di saat
sudah mendapatkan ketentraman di Ranu Kumbolo. Tapi tetap saja gunung bukan
habitat manusia, kami harus pulang ke rumah karena itu tujuan akhir dalam
sebuah pendakian. Kembali pulang dengan selamat lebih tepatnya.
Perjalanan
kami pun berakhir di terminal Arjosari. Disana kami pisah jalan dan kembali ke
asal masing-masing.
0 comments: