Pendakian Semeru #3: Puncak Para Dewa!
Ketika
sedang nikmat tidur, bunyi alarm ponsel saya berbunyi menandakan jam ½ 12
malam. Waktunya summit attack. Bukannya bangun, saya cuma matiin alarm itu dan
kembali tidur. Tapi nggak lama dari itu Rahman bangunin saya, ngingetin itu
waktunya summit. Saya bangun dan mengusir rasa kantuk demi Mahameru, lalu saya
bangunkan yang lainnya juga untuk bersiap-siap.
Setelah
semua bangun, kami membawa barang-barang berharga dan tentunya perbekalan. Kami
hanya membawa beberapa botol air dan itu disimpan pada sebuah daypack yang
dibawa oleh satu orang. Sekarang saya pikir itu salah, karena ketika mendaki
lebih baik tiap orang membawa air masing-masing, bukan di kolektif pada satu
orang.
Sekitar
jam 12 malam, kami mulai berjalan. Ditengah kegelapan malam kami menerobos
hutan. Udara malam itu terasa sangat dingin. Kami berjalan tanpa ada obrolan
sehingga nafas kami satu sama lain bisa terdengar.
Awalnya
perjalanan lancar-lancar saja, sampai tiba-tiba terjadi kemacetan. Macet? Masa
iya di gunung macet? Iya beneran. Tahu kan kalau jalan di gunung itu jalan
setapak, jadi cuma muat untuk satu orang. Nah di depan kami ini ada rombongan
pendaki yang berhenti, kami pun terpaksa menunggu karena susah kalau nyalip,
mana jalan setapak di tanjakan pula. Dan tahu nggak rombongan pendaki di depan
kami ini berhenti karena mereka juga terpaksa nunggu karena di depan mereka ada
rombongan pendaki lain yang berhenti. Mampus deh ngomong apa ini saya.
Tahu
kan kalau Semeru itu rame banget setelah muncul film 5cm. Jadi gegara banyaknya
pendaki, di jalan setapak yang muat satu orang doang, bikin ngantri! Kalau yang
paling depan berhenti, yang bawahnya ya terpaksa nunggu. Dan itulah yang
membuat perjalanan kami lamaaaaa.. lama sama nunggu. Kelamaan nunggu antrian, tapi
yah mau gimana lagi, jalani saja.
Dari
pada pas nunggu bengong, ya kami ngobrol-ngobrol sama pendaki lain. Eko, yang
baru tahu kata “modol” belum lama ini dari saya. Dia nyeletuk, “Kalau sampai
puncak, aku mau modol, biar jadi modol tertinggi di pulau Jawa!”. Eh tiba-tiba ada
pendaki yang ngerti, lalu dia membalas, “Wah keren mas itu, modol tertinggi di
pulau Jawa”. Kami semua tertawa. FYI, modol itu Bahasa sunda yang artinya BAB.
Hahaha!
Antrian
di perjalanan itu terus berlanjut sampai medan berubah menjadi pasir berbatu. Ya,
kami sudah melewati batas vegetasi, dan tinggal mendaki medan pasir berbatu
tersebut. Tapi disini rombongan kami terbagi menjadi dua. Entah sejak kapan
rombongan kami terpecah, sebab dengan ramainya pendaki ditambah malam hari,
sulit untuk mencari teman sendiri. Saya ketika itu bareng Rahman, Faisal dan
Saifud. Dan saya yakin yang lainnya masih di belakang, karena saya ngga lihat
mereka menyusul kami.
Kami
putuskan untuk lanjut mendaki tapi pelan-pelan dan sesekali mengambil break.
Siapa tahu teman kami yang lain menyusul. Karena kalau kami hanya diam dan
menunggu, rasanya semakin dingin, maka dari itu kami harus terus bergerak.
Perjalanan seakan nggak sampai-sampai. Lalu ada satu momen ketika kami break
cukup lama dan akhirnya ketiduran sebentar. Saat bangun rasanya dingin bukan
main. Dan saya tersadar salah satu dari kami hilang, Rahman. Sepertinya dia
lanjut duluan karena kedinginan kalau hanya diam.
Hingga
langit mulai terang kami belum juga sampai di puncak. Saat ini saya cuma
bertiga sama Faisal dan Saifud, karena Rahman hilang. Ketika duduk istirahat, Faisal
nunjuk-nunjuk dan bertanya ke Saifud, “Itu Gunung Bromo ya Fud?”. Tapi Saifud
nggak menjawab, pas dilihat taunya dia ketiduran. Beuh! Emang kondisi fisik
udah capek banget, mana ngantuk, berhenti sebentar aja langsung ketiduran.
Finally,
jam 7 pagi saya sampai di Mahameru, puncak para dewa! Saya sangat bersyukur
bisa menapak di atap pulau Jawa ini. Puncaknya luas, sudah banyak pendaki di
puncak saat itu. Saya mencari-cari Rahman begitu sampai, dan ternyata benar. Rahman
emang duluan, dia melambai-lambai memberi tanda. Nggak lama dari itu Saifud dan
Faisal berturut-turut sampai di puncak.
Sambil
nunggu 6 orang teman kami yang lainnya, kami ber-4 nggak lupa mengabadikan
momen. Kebetulan fotografernya lagi bareng kami, Rahman. Lagi asik foto-foto,
tiba-tiba kawah Jonggring Saloka mengeluarkan asap alias “batuk”. Wah ini momen
langka, kami dan para pendaki lain pun langsung ambil posisi dengan latar kawah
semeru yang lagi batuk itu.
Kawahnya Batuk
Mahameru!
Wonderful
Mahameru!
Ketika
di puncak sempat ada aksi heroik dari Saifud. Lagi asik mengabadikan momen,
tiba-tiba bendera merah putih yang di ikat di leher Saifud lepas. Terbang dan
jatuh di dekat tebing. Dengan heroiknya dia berusaha menyelamatkan bendera itu
dengan sebuah tongkat kayu yang tergeletak tidak jauh dari situ.
Tapi
tongkat itu tetap nggak menjangkau bendera, lalu Saifud meminta kami untuk
memegangi tangannya supaya dia bisa meraihg benderanya. Lalu ada pendaki lain
berkata, “Udah mas biarin aja, bahaya takut jatuh”. Saya juga setuju dan
meminta Saifud untuk membiarkan bendera itu jatuh ke jurang. Berhubung bendera
itu punya saya, yaa nanti pas udah di kota, minta gantinya aja deh ya. Hehe.
Padahal
bendera itu udah saya bawa ke beberapa puncak gunung sebelum Semeru,
diantaranya Ciremai, Slamet dan Arjuno. Tapi ya sudah gapapa deh, heuheu.
Aksi penyelamatan
bendera
Lumayan
lama kami di puncak tapi yang lain belum sampai juga. Sampai akhirnya Rahman
dan Saifud milih untuk turun duluan karena udara di puncak sangat dingin.
Sedangkan saya dan Faisal tetap di puncak menunggu yang lain. Karena penasaran,
saya dan Faisal nekat dengan mendekat ke arah kawah. Tapi belum juga setengah
jalan menuju kawah tiba-tiba tanah yang kami injak terasa bergetar. Takut
terjadi hal yang ngga diinginkan, kami pilih untuk balik kanan jalan saja.
Hahaha.
Lalu
ketika kembali ke Puncak Mahameru, ternyata sudah ada Nafi disana. Dan nggak
lama setelah itu, Eko dan Abduh juga tiba. Setelah mereka beres foto-foto, saya
turun duluan bareng Faisal dan Nafi, sedangkan Abduh dan Eko masih di puncak.
Baru saja turun beberapa meter, kami bertemu Rio yang masih berjuang mendaki.
Di bawahnya lagi kami bertemu Idang. Mereka masih berjuang mencapai puncak,
kami pun memberi semangat. “Ayo Dang, puncak masih jauh!”.
Perjalanan
turun ternyata mengasyikkan, kayak main ice skating, bedanya ini pasir. Satu
langkah bisa langsung beberapa meter karena medannya berpasir. Tapi tetep harus
hati-hati sama langkah, bisa aja karena keasyikkan, terus ada batu jatuh
gara-gara langkah kita dan kena pendaki yang berada di bawah kita. Kan ngeri kalau
gitu ceritanya.
Sand Skating
Nggak
kayak perjalanan naik yang sampai 7 jam perjalanan, turun dari puncak ke
Kalimati makan waktu 2 jam. Sesampainya di camp, sebenernya saya kelaparan,
tapi karena stok air yang benar-benar tipis, hanya roti dan biskuit saja
gantinya. Abis itu langsung ngegeletak gitu aja saking capeknya. Tidur siang
dulu, sebelum turun ke Ranu Kumbolo.
Kalimati
Tidur Siang di
Kalimati
Edelweiss
Setelah
berkumpul semua dan tidur yang cukup. Kami turun untuk menghabiskan malam
terakhir di Ranu Kumbolo.
0 comments: