Terdampar di Kedamaian Telaga Taman Hidup
Danau di atas gunung memang mempunyai
keunikannya tersendiri, nggak banyak pula gunung yang punya sebuah danau. Yang
paling terkenal apalagi kalau bukan Ranu Kumbolonya Semeru, yang disebut sebagai
surganya Gunung Semeru. Atau Danau Segara Anak punya Gunung Rinjani. Mungkin nggak
banyak yang tau kalau ada lagi gunung yang punya danau. Ya, Argopuro dengan
Telaga Taman Hidupnya. Meskipun namanya telaga, ya sama aja deh intinya. Konon,
kalau berteriak di sekitar Telaga Taman Hidup nanti akan ada badai datang!
Telaga Taman Hidup
Saya merencanakan pendakian ke Gunung Argopuro
bersama seorang teman, Yogi. Ya, berdua doang. Segalanya udah disiapkan,
termasuk perbekalan selama 5 hari. Kami melalui perjalanan panjang dari Malang
menuju Desa Bermi, Probolinggo.
Perjalanan kami ke Bermi nggak mudah. Pertama
dapat info yang kurang update, dari internet saya tau ada bus dari terminal
Probolinggo yang langsung ke Bermi. Dan itu ada cuma ada 2 kali, pagi dan
siang. Saat sampai di terminal Probolinggo, ternyata jadwalnya berubah jadi jam
4 sore. Terpaksa kami naik bus lain dan turun di Pajarakan.
Di Pajarakan kami sempat tanya-tanya, tapi dapat
info yang ambigu. Ada yang bilang kalau bus ke Bermi biasa lewat sekitar jam 2,
ada juga yang bilang kalau busnya itu sore. Akhirnya kami nunggu dulu. Eh
begitu udah jam 2 lebih, busnya nggak lewat-lewat. Dari pada buang waktu kami
naik angkutan desa, lalu oper naik ojek ke Bermi. Begitu turun dari angkutan
desa, kami langsung di serbu oleh banyak orang. Udah kayak artis. Bedanya ini yang
nyerbunya tukang ojek, kami jadi rebutan beberapa tukang ojek. Saya sampai
pusing saking banyaknya yang nyerbu. Mungkin gitu ya rasanya jadi artis saat di
serbu para fansnya. Mending, lah ini tukang ojek.
Lalu kami memilih satu yang terbaik dari banyak tukang ojek
dan berangkatlah kami ke Bermi. Sesampainya disana saya baru tau kalau pendakian
ditutup! Karena malamnya terjadi kebakaran di sekitar jalur pendakian. Perasaan
saya campur aduk, antara kecewa dan lega. Kecewa karena udah jauh-jauh
datang tapi nggak bisa ndaki, dan entah kenapa ada perasaan lega. Mungkin
karena saya sendiri merasa nggak siap sama pendakian itu.
Setelah ngobrol-ngobrol, ternyata masih ada
peluang untuk mendaki meski cuma sampai Telaga Taman Hidup, karena lokasi
kebakaran cukup jauh dari telaga. Dari pada balik kanan pulang saat itu juga,
kami putuskan untuk mendaki sampai telaga dan ngecamp disana. Sebelum kami,
paginya ada satu rombongan pendaki yang mendaki juga sampai telaga.
Kami berangkat sekitar jam setengah 4 sore.
Perjalanan diawali dengan melewati persawahan milik warga. Kira-kira 30 menit
saja kami mulai memasuki hutan. Vegetasinya rapat. Kata pak polisi di Polsek Kurcil,
perjalanan ke telaga memakan waktu sekitar 4 jam. Lama juga. Jauh berarti,
lumayan.
Gapura Selamat Datang
Pendakian kala itu rasanya saya bener-bener nggak
siap, sering banget saya istirahat, carier yang saya gendong berat banget.
Sampai saya sering bertukar carier sama Yogi. Biasanya saya jarang
tuker-tukeran carier kalau lagi ndaki.
Setelah 2 jam berjalan dan hari udah mulai
gelap. Kami putuskan untuk mencari lapak untuk mendirikan tenda di sekitar
jalur. Perjalanan masih 2 jam lagi, dan kami juga nggak yakin sejauh mana itu. Kondisi
kami udah nggak memungkinkan untuk lanjut, capek banget. Untungnya ada sebidang
tanah yang cukup untuk mendirikan tenda di samping jalur pendakian.
Saya merebahkan badan dalam tenda, rasanya
nikmat sekali! Meski posisi tanah agak miring dan nggak rata alias berbatu,
jauh banget dari kata nyaman kalau dibandingkan dengan empuknya kasur di
kostan. Padahal mah Kasur di kostan juga udah tipis. Heuheu.
Namun itu sangat nikmat setelah satu hari
perjalanan yang sangat melelahkan. Kemudian kami masak-makan dan dilanjut tidur
supaya besoknya kondisi bisa fit.
Camp mepet jalan pendakian
Esoknya jam setengah 7 pagi kami udah caw meninggalkan
lokasi camp. Masih melewati medan yang menanjak di tengah rimba. Baru 2 jam
kemudian kami menemukan tanda-tanda telaga, diawali dengan jalur yang tiba-tiba
menurun (sebelumnya nggak ada kata turun, nanjak terooos), lalu diikuti dengan
petunjuk arah menuju telaga.
Akhirnya kami tiba di telaga! Rasanya bak sebuah
oase di padang pasir. Kalau ini sebuah telaga di tengah hutan. Telaganya di
kelilingi oleh lebatnya hutan, ada sebuah dermaga yang menjorok masuk beberapa
meter ke tengah telaga, airnya tenang meskipun kelihatannya keruh, damai
rasanya berada di sana, ini toh yang namanya Telaga Taman Hidup. Menakjubkan! Nggak
kalah kok sama Ranukumbolo!
Dermaga yang menjorok ke tengah telaga
Saat kami tiba, ada satu gerombolan pendaki yang
sedang siap-siap untuk pulang, 6 orang laki-laki semua. Mereka menyapa kami.
“Mas, darimana mas?”, tanya salah satu dari
mereka.
“Dari Malang mas, kalau masnya?”, jawab saya.
“Wah kami juga dari Malang, dari UB”.
“Lho kami UB juga, PTIIK”.
“Oalah, kalau kami dari FTP”.
Ya, mereka ternyata satu universitas dengan saya
dan Yogi. cuma beda fakultas doang. Lalu mereka bercerita kalau mereka awalnya
ingin mendaki Gunung Arjuna, tapi saat sampai di pos perizinan, taunya Arjuna
tutup. Akibat kebakaran juga, mereka akhirnya berpaling ke Argopuro.
Lalu saat ke Argopuro, kondisinya nggak beda
jauh. Pendakian di tutup juga. Tapi untungnya boleh mendaki sampai Taman Hidup.
Yah nggak jauh beda kayak saya dan Yogi. Niat awal kami juga sebenernya Arjuna,
tapi kami tau Arjuno kebakaran dan jalur pendakian ditutup dari berita. Ya
sudah kami beralih ke Argopuro, eh kebakaran juga. Yah nasib kami semua sama,
berakhir di kedamaian Telaga Taman Hidup.
Saya dan Yogi menuju dermaga ke tengah telaga
untuk minum airnya, air telaganya terlihat nggak terlalu jernih. Yah kalau di
gunung mau gimana aja wujudnya tetep diminum. Tapi saat diminum, airnya seger
kok, nggak berasa dan berbau juga.
Lelah yang saya rasakan sepanjang perjalanan
hilang seketika, sumpah! Yang ada dipikiran saat di perjalanan, kalau sampai
akan leyeh-leyeh tiduran. Tapi kenyataannya saya malah asyik menikmati
keindahan telaga sambil mengabadikan momen.
Airnya tenang, menentramkan
jalan ke tengah dermaganya harus gitu
Kami rencananya hanya sebentar saja dan pulang
saat siang. Kami kemudian masak untuk makan besar kami, karena perbekalan 5
hari tak terealisasi, kami gunakan semampu perut kami menampung.
Selagi masak, rombongan dari FTP berpamitan
pulang. Entah disengaja atau nggak tahu, ada beberapa dari mereka berteriak.
Udah tau kan mitos telaga taman hidup apa? Dan percaya atau tidak, langit
tiba-tiba mendung! Waduh masa ada badai, seketika kami langsung mendirikan
tenda untuk jaga-jaga kalau terjadi badai. Namun setelah beberapa lama, hujan nggak
turun. Hanya muncul kabut yang cukup tebal.
Mulai berkabut
Setelah makan, kami berkeliling di sekitar telaga. Kami menemukan ada bekas kebakaran dan terlihat seperti baru. Syukurlah
kebakaran tersebut bisa padam dan tidak menyebar ke sekitarnya. Setelah puas
berkeliling dan langit juga semakin gelap, kami meninggalkan Telaga Taman
Hidup.
Lokasi bekas kebakaran
Sewaktu perjalanan turun, baru deh hujan turun
dengan deras. Untungnya kami udah dekat dengan desa. Nggak tau deh kalau
misalnya masih di telaga, beneran badai kayaknya. Saya juga percaya nggak
percaya sama mitos begitu. Tapi yang saya alami memang seperti itu kejadiannya.
Jadi kembali ke masing-masing aja mau percaya atau nggak.
Btw, ini pertama kali saya gagal mendaki sampai ke
puncak, memang lagi kebakaran. Tapi nggak bisa dipungkiri kondisi saya juga nggak
cukup mampu untuk mendaki sampai puncak kalau dilanjutkan, saya nggak yakin. Ini
mungkin sebuah isyarat bahwa saya harus kembali lagi dengan kondisi siap mental
dan fisik supaya bisa menggapai puncak Argopuro. Meski gagal ke puncak,
setidaknya saya merasakan kedamaian berada di Telaga Taman Hidup. Terima kasih
Argopuro, saya akan kembali!
iseng-iseng
0 comments: