Ketika masih tinggal di Malang, saya menjadikan Gunung Panderman (2000 mdpl) sebagai pelarian tatkala hasrat mendaki tak dapat dibendung, namun tak ingin mendaki gunung-gunung tinggi macam Semeru atau Arjuno. Selain karena puncaknya dapat dicapai dalam waktu 2 jam, letak Gunung Panderman yang berada di Kota Batu, cukup dekat jika start dari Kota Malang. Kini, ketika Jakarta menjadi tempat saya mengumpulkan pundi-pundi rupiah, ada Gunung Kencana dikala rindu mendaki.
Setelah sekian lama menghilang dari peredaran dan kehilangan hasrat untuk menulis, pada akhirnya rindu juga untuk menuliskan cerita dari perjalanan yang saya lakukan. Untuk itulah saya kembali ke blog yang sudah terbengkalai ini. Semoga masih ada yang baca.
* * *
Pada kesempatan ini saya akan menceritakan pendakian ‘tektok’ ke Gunung Cikuray. Pendakian ini saya lakukan bersama tiga orang kawan. Yang pertama adalah Samid, kemudian ada Halla dan terakhir yaitu Indah. Ini merupakan pendakian pertama saya dengan Samid dan Indah. Sedangkan dengan Halla pernah mendaki ke Gunung Salak 6 Mossa pada sebuah open trip.
Pendakian ini sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, supaya kami bisa mempersiapkan fisik terlebih dulu. Maklum, sejak dilanda pandemi, saya jarang sekali berolahraga, aktivitas pun sangat monoton. Kalau di jawa istilahnya, "mangan turu ngising, mangan turu ngising", repeat.
Singkat cerita, pada Jum’at malam kami telah berkumpul di Basecamp Bawah Cikuray via Pemancar, lebih tepatnya di rumah Kang Bebe. Kami menginap semalam di sana, berbagi ruang bersama rombongan pendaki lainnya. Di rumah Kang Bebe juga kami mengurus tiket masuk kawasan dan angkutan ke Basecamp Atas. Setelah semuanya beres, kami pergi tidur.
Esoknya pagi sekali, bahkan sebelum subuh, kami berangkat menuju Basecamp Atas bersama satu rombongan pendaki lain dengan menaiki mobil losbak. Mobil melaju perlahan di jalan makadam. Jalanan berbatu ini membuat kami harus tetap fokus agar tidak terbanting ke kanan ke kiri maupun ke depan atau ke belakang. Guncangannya dapat membuat kami terpental dari posisi duduk dan bikin pantat sakit ketika kembali mendarat di bodi mobil.
Tepat saat adzan subuh berkumandang, kami tiba di Basecamp Atas, letak berdirinya pemancar stasiun televisi berada. Itulah alasan kenapa jalur ini disebut sebagai Jalur Pemancar. Sebelum mulai mendaki, kami sempatkan untuk solat, buang air dan mengepak kembali barang bawaan.
Diawali dengan do'a, pukul 5.30 perjalanan kami dimulai. Tanpa basa-basi, kami langsung dihajar oleh tanjakan yang cukup terjal. Sungguh permulaan yang sangat menantang. Disekeliling kami terhampar perkebunan teh sejauh mata memandang. Namun karena matahari belum muncul, saya tidak bisa mengabadikannya pagi itu.
cahaya rembulan
Setelah berjalan sekitar 15 menit, kami tiba di Pos 1, Pos Pendataan. Di sini adalah tempat pendaki mengurus perizinan. Tetapi karena kami sudah mengurusnya di rumah Kang Bebe, sehingga kami cukup memberi tahu petugas yang berjaga di pos tersebut. Selain itu, kami juga harus mengisi data anggota pendakian seperti nama, alamat serta nomor telepon yang bisa dihubungi.
Tak sampai 5 menit, kami kembali melanjutkan pendakian. Pos 1 adalah batas vegetasi antara hutan dan perkebunan teh. Kami mulai memasuki hutan, meski vegetasinya memang belum begitu rapat. Dan seperti sebelumnya, kami masih dihajar oleh tanjakan yang terjal. Kali ini tanjakannya punya nama, Tanjakan Baeud, berbentuk menyerupai anak tangga yang tersusun rapi. Butuh kesabaran ekstra melewatinya karena tanjakan ini cukup panjang dan sangat menguras tenaga. Bikin engap.
pos 1 pemancar
terbit mentari
Langit yang semula gelap dan hanya disinari oleh cahaya rembulan dan cahaya sahabat (headlamp kawan-kawan), kini sudah terang karena matahari sudah terbit. Perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2 lumayan panjang. Jaraknya paling jauh di antara pos-pos lainnya. Hampir 1 jam waktu yang kami butuhkan untuk sampai di Pos 2. Di sini kami berhenti cukup lama. Berhubung perut belum diisi sejak awal keberangkatan, kami putuskan untuk sarapan terlebih dahulu. Karena tektok dan tidak membawa peralatan masak, hanya makanan ringan yang kami bawa. Seperti roti, biskuit, snicker dan tidak lupa dengan asupan wajib, micin!
Selepas Pos 2 vegetasi hutan mulai rapat. Pohon-pohon tinggi dan besar menutupi teriknya sinar matahari. Track yang dilalui terus menanjak, tidak ada bonus sama sekali. Sesekali kami harus memanjat dengan bantuan tangan untuk melewati sebuah tanjakan yang tinggi. Berita baiknya, jarak antar pos tidak terlalu panjang. Tidak sejauh jarak dari Pos 1 ke Pos 2. Bahkan ada yang hanya berjarak 10 menit saja.
tak ada ampun
take a break tiap pos
Tidak banyak pendaki yang kami temui di sepanjang track. Baru ketika tiba di Pos 6 / Puncak Bayangan, kami bertemu sejumlah pendaki yang berkemah. Tidak hanya pengunjung, ada juga warga lokal yang berjualan makanan dan beberapa ranger yang berjaga. Pos 6 ini memang lumayan luas, sepertinya bisa untuk mendirikan 10 tenda atau lebih. Di sini juga ada sebuah shelter yang dapat digunakan pendaki untuk istirahat dan berteduh sejenak dari matahari yang semakin siang terasa semakin membakar.
Untuk menuju puncak, masih ada 1 pos lagi yang harus dilewati. Jika ditotal, butuh sekitar 1 jam perjalanan dari Pos 6 ke Puncak. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 10.20, saat itulah kami tiba di Puncak Cikuray! Alhamdulillah! Panas memang, karena di puncak tidak ada pepohonan tinggi yang dapat meneduhi. Tapi setidaknya kami sampai sebelum tengah hari, karena akan sangat panas jika sampai puncak ketika waktu dzuhur.
Apa yang kami saksikan di puncak adalah ekspektasi kami terhadap Puncak Cikuray itu sendiri. Samudra awan! Iya, Puncak Cikuray memang terkenal dengan panorama lautan awannya yang indah. Hal ini karena puncaknya yang berbentuk kerucut dan datarannya yang tidak begitu luas membuat 360 derajat di sekitar puncak dipenuhi oleh awan. Tapi itu jika cuaca sedang cerah dan berawan. Akan lain ceritanya jika sedang hujan. Beruntungnya kami mendapatkan cuaca yang bagus.
samudra megaaaaa
terdapat sebuah bangunan di puncak
we did it!
Cukup lama kami di puncak. Melakukan segala ritual yang biasa dilakukan kebanyakan pendaki saat berada di puncak. You know lah. Yang menarik, di Puncak Cikuray ada warga lokal yang berjualan bakso, cuanki, siomay dan lain sebagainya. Karena perut sudah bosan dengan roti dan makanan instan lainnya, kami memesan cuanki (cari uang jalan kaki) yang menggoda kami sedari tadi. Hitung-hitung sekalian membantu perekonomian warga lokal juga lah ya, hehe.
jajan cuanki dulu
Seberes makan cuanki kami sempat ketiduran beberapa saat karena perut yang kenyang. Pukul 13.20 kami mulai bergerak lagi untuk pulang. Jika berangkat kami membutuhkan waktu tempuh 4 jam 50 menit (termasuk istirahat), ketika turun kami memangkas hampir separuhnya, yaitu 2 jam 32 menit. Dan tiba kembali di Basecamp Atas sebelum gelap. Indomie kuah dan teh manis hangat menjadi menu penutup wajib setelah seharian mendaki. Ah, mantab!
Berikut rincian waktu tempuh perjalanan di tiap posnya:
Naik
5.30 - 5.45: basecamp pemancar - pos 1
5.50 - 6.45: pos 1 - pos 2
7.00 - 7.45: pos 2 - pos 3
7.50 - 8.15 : pos 3 - pos 4
8.20 - 8.30 : pos 4 - pos 5
8.30 - 8.48 : pos 5 - pos 6
9.15 - 10.04 : pos 6 - pos 7
10.10 - 10.20: pos 7 - puncak
Turun
13.20 - 15.52 puncak - basecamp pemancar
Perlu diingat, ini pendakian tektok. Beban yang kami bawa tidak banyak. Hanya membawa daypack tiap orangnya. Jadi waktu tempuh tersebut tidak bisa menjadi acuan bagi yang mendaki dengan bawaan berat dan harus berkemah. Sekian cerita perjalanan 'tektok' Gunung Cikuray via Pemancar. Sampai jumpa di cerita perjalanan berikutnya. Hatur Nuhun!
“Yaudah, kalau gitu kita ke Yunani aja. Gimana?” ujar Bang Gethuk.
Saya, Santi dan Mbak Rara yang sebelumnya sudah diceritakan dan ditunjukkan dari foto, mengangguk setuju.
“Jalannya nggak begitu terjal, tapi harus nunggu terang dulu baru berangkat.” Tambah Bang Gethuk.
***
Bagi kebanyakan orang, traveling ke Kawah Ijen berarti menyaksikan blue fire. Begitu pun dengan saya. Begitu bruntungnya negara kita memiliki salah satu dari 2 blue fire yang ada di dunia. Namun 2 kali saya ke Kawah Ijen, 2 kali juga saya gagal ke puncak dan melihat blue fire. Tak apa, karena Kawah Ijen nggak melulu soal blue fire. Pada kesempatan kedua saya ke sana, saya mengunjungi satu Spot yang luar biasa amazing! Yunani namanya.
Sehabis makan malam dengan sego tempong di Kota Banyuwangi, saya bersama Santi, Faruk, mbak Rara dan Bang Gethuk menggeber motor menuju Paltuding. Kami menghangatkan diri dengan menyeruput secangkir kopi di salah satu warung. Suhu di Paltuding cukup dingin hingga membuat napas mengeluarkan kepulan asap seperti orang yang sedang merokok.
Tanggal dibangunnya bendungan
Kami memutuskan untuk istirahat dulu sebelum mendaki Kawah Ijen. Pukul 9 malam masih terlalu sore untuk mendaki. Loket penjulan tiket pun baru buka pukul 1 dini hari. Kami tidur di sebuah shelter (seperti shelter di pos pendakian gunung) yang cukup besar. Bukan hanya kami yang beristirahat di situ, beberapa orang sudah berada di alam mimpi saat kami datang. Sementara Santi dan Mbak Rara menggelar matras untuk tidur, saya dan Faruk bergelantungan di hammock.
Langit cerah tanpa awan malam itu. Cahaya bulan cukup terang untuk menerangi jalan. Kami mendaki bersama puluhan wisatawan lain. Diantara banyaknya wisatawan, ada para penambang belerang. Mereka mendaki dengan mendorong gotrok yang biasa digunakan untuk membawa turun belerang. Ternyata bagi mereka fungsi gotrok bukan sekedar mengangkut belerang, melainkan bisa dijadikan jasa ojek. Bagi yang lelah atau malas mendaki, dapat menggunakan jasa Go-Trok ini untuk naik maupun turun.
Di tengah perjalanan, musibah menimpa Santi. Ketika mendaki, kakinya terperosok ke jalan yang berlubang hingga membuat kakinya terkilir. Akibat hal tersebut kami menghentikan perjalanan dan memutuskan untuk berhenti di Pos Bunder.
Pos Bunder
Setelah istirahat beberapa saat, Santi merasa kakinya baikan. Ia mengajak untuk lanjut mendaki ke puncak. Kami membujuknya untuk turun saja, karena khawatir kakinya sakit lagi dan menjadi tambah parah. Namun ia tetap pada pendiriannya. Ia merasa sanggup dan ingin tetap lanjut. Karena keinginannya yang besar, Bang Gethuk lalu memberi alternatif lain.
“Yaudah, kalau gitu kita ke Yunani aja. Gimana?” ujar Bang Gethuk.
Saya, Santi dan Mbak Rara yang sebelumnya sudah diceritakan dan ditunjukkan dari foto, mengangguk setuju.
“Jalannya nggak begitu terjal, tapi harus nunggu terang dulu baru berangkat.” Tambah Bang Gethuk.
“Oke siap, Bang!” timpal saya.
Kami kembali mendaki setelah matahari terbit, kali ini tujuannya adalah Yunani. Tidak jauh dari Pos Bunder, Faruk yang berjalan paling depan keluar dari jalur utama (jalur ke puncak) dan masuk ke ‘gerbang’ menuju Yunani. Jalurnya sempit, hanya jalan setapak yang muat dilewati satu orang. Semak belukar tumbuh rimbun di sisi kanan dan kiri jalan, menandakan bahwa tidak banyak orang yang lewat.
'Gerbang' ke Yunani
Rimbun!
Gunung Raung
Meski cukup jauh, tapi jalannya tidak begitu menanjak. Pemandangannya pun ciamik. Kami disuguhi panorama Gunung Raung di kejauhan. Setelah 1 jam berjalan, trek berganti menjadi pasir berbatu. Medan yang sebelumnya ditumbuhi pohon dan semak yang lebat, setelah melewati batas vegetasi berubah menjadi gersang. Dari situ pula kami dapat melihat kawah. Yap, ‘kawah’-nya Kawah Ijen!
Perlu berhati-hati
Kawahnya sudah terlihat
Dan inilah Yunani. Sebutan untuk bendungan Kawah Ijen. Spot yang jarang diketahui oleh wisatawan. Kalau bukan karena Faruk dan Bang Gethuk yang asli Banyuwangi, saya pun tidak akan mengetahuinya. Pemandangannya sangat memukau, luar biasa amazing pokoknya mah! Air kawah yang berwarna hijau tosca terlihat begitu kontras dengan dinding kawah yang mengelilinginya.
Pada akhirnya, puncak memang hanyalah bonus. Begitu juga dengan blue fire. Namun saya tidak kecewa, karena keindahan Yunani pun tak ada duanya. Mungkin pada kesempatan berikutnya saya baru diizinkan untuk dapat menyaksikan kobaran blue fire yang tersohor itu. No blue fire? no problem!
Senin, 6 Maret 2017
Setelah udar-ider di Batu Caves, kami melanjutkan perjalanan dari stasiun Batu Caves naik KTM dengan tujuan Masjid Jamek. Kali ini nggak pakai nyasar. Kami sudah mempelajari rute dan sistem LRTnya dengan baik. Nggak mau kami jatuh dilubang yang sama. Hahaha!
Di Masjid Jamek kami menunaikan ibadah shalat dzuhur + ashar dan sekalian istirahat, meluruskan kaki sejenak. Saat itu Masjid Jamek cukup ramai, baik yang sedang menunaikan ibadah shalat maupun sekedar istirahat di teras. Turis dan warlok berbaur menjadi satu. Leyeh-leyeh di teras Masjid Jamek bener-bener nyaman. Mungkin akibat kaki pegal dan cuaca yang panas, sehingga begitu nemu tempat adem kami langsung betah. Yogi malah ingin berlama-lama. Tapi sayang udah jauh-jauh ke Malaysia kalau cuma leyeh-leyeh kaaan??
Masjid Jamek
Kemudian kami lanjut ke Kuala Lumpur City Gallery (KLCG). Cukup berjalan kaki sekitar 10 menit kami udah sampai. Letak KLCG ini berada disebelah Merdeka Square, sehingga cukup mudah untuk mencarinya, meski kami juga perlu baca peta berulang-ulang dan tanya sana-sini. Hehehe.
Jadi KLCG adalah museum tentang seluk-beluk sejarah Kota Kuala Lumpur. Dengan harga tiket 5 ringgit, kami dapat berkeliling museum ini. 5 ringgit itu pun nantinya dapat ditukar dengan souvenir atau makanan/minuman dengan harga setimpal. Cukup menarik. Di lobby terdapat banyak brosur mengenai informasi KL. Seperti destinasi wisata, rute LRT, rute GoKL, dll. Ini sangat membantu bagi kami untuk meminimalisir kejadian yang tak terduga. Maka dari itu beberapa brosur langsung kami sikat. Hehehe!
Pada bagian awal museum akan disuguhkan sejarah Malaysia. Di sisi kanan adalah National Heritage Malaysia, seperti Old Market Square, KL City Library, Victorian Fountain, dll. Sementara di sisi kiri merupakan tokoh-tokoh berpengaruh dalam sejarah Malaysia hingga keadaan KL di masa lampau.
Daftar National Heritage Malaysia
Selanjutnya kami masuk ke zona Discover City KL. Pada sebuah ruangan yang gelap akan diperlihatkan sebuah video mengenai serba-serbi Kuala Lumpur. Seperti museum-museum, heritage sites, ekonomi, transportasi publik, dsb. Tepat di depan kami berdiri, terdapat miniatur kota Kuala Lumpur. Ketika video akan berakhir, tiba-tiba saja miniatur KL tersebut menyala kerlap-kerlip! Pada video yang diproyeksikan itu juga muncul efek lampu sorot dan kembang api. Keren lah pokoknya!
Miniatur kota KL
Kemudian kami menuju ruangan tempat pembuatan souvenir, berupa miniatur bangunan-bangunan ikonik di kuala lumpur. Kami menyaksikan proses para pekerja yang sedang membuat miniatur. Yang terakhir adalah ruangan souvenir dan kantin. Tiket masuk seharga 5 ringgit saat pertama masuk dapat ditukar dengan souvenir maupun minuman/makanan dengan harga serupa. Kalau nggak cukup, tinggal nambah aja!
Puas berkeliling, kami masih nongki disekitar KLGC. Kenapa? Karena ada WiFI gratis! Wkwkwk. Ini sebenarnya tujuan utama kami pergi kesana. Update sosmed biar kayak kids zaman now. Hahaha. Nggak deng, tentu untuk berkabar ke keluarga. Itu yang selalu kami lakukan setiap kali nemu WiFi. Namun baru saja beberapa menit WiFian, tiba-tiba tetesan air turun dari langit. Gerimis. Mau nggak mau kami pun dengan berat hati harus meninggalkan WiFi di KLGC. Bye wifi gratisan, sampai jumpa di lain tempat. Heuheu.
KLGC
Dari stasiun Masjid Jamek kami lanjut ke Kuala Lumpur City Centre (KLCC). Tempat dimana Menara Petronas Twin Tower berada. Stasiun LRT di KL ini terkadang langsung terhubung di titik keramaian seperti destinasi wisata, masjid, pusat perbelanjaan, dsj. Nah stasiun KLCC yang menjadi pemberhentian kami pun terhubung dengan mall. Begitu keluar dari stasiun, kami langsung aja gitu ada di dalam mall.
Akibat kelaparan (baru makan bekal roti semenjak sampai di KL) dan bingung cari makan dimana, kami dengan terpaksa dan berat hati makan di mall. Apalagi kalau bukan soal budget. Makan nasi lemak + minum teh habis 7.64 ringgit. Kalau di konversi ke rupiah itu 22 rebu, kalau makan di warung biasa mah bisa 5 ringgit doang padahal. Sebenarnya beda dikit sih, tapi kalau lagi backpacking mah kalau ada yang murmer, kenapa harus cari yang lebih mahal. Tapi gapapa lah dari pada tiba-tiba mati kelaparan. Heuheu.
Selepas ngisi perut kami berjalan sebentar keluar dari mall dan… Petronas Twin Tower berdiri menjulang tinggi dihadapan kami. Hhm, jadi ini menara kembar kebanggaan negeri jiran. Landmarknya kota Kuala Lumpur. Dan tepat di sebrangnya adalah KLCC Park. Spot terbaik untuk turis maupun warlok dapat mengabadikan diri dengan latar belakang si kembar. Bukan si kembar upin ipin yah.
Nih sore hari pas langit masih terang
“Kalau ke Petronas mending malem aja, bang. Kalau siang nggak begitu bagus buat foto-foto”, ujar Jahid (nama samaran), orang Indonesia yang kami temui saat di Batu Caves. Tepatnya saat dia minta fotoin dirinya ke saya. Resiko traveling sendirian, kalau mau foto harus minta tolong ke orang. Sempet bareng naik LRT sepulang dari Batu Caves tapi beda tujuan stasiunnya. Di LRT kami saling bertukar informasi yang kami tahu. Termasuk soal foto-foto di Petronas Twin Tower. Hehehe.
Kami tiba di KLCC park sore hari. Di situ pula kami berpisah dengan si Jahid. Langit masih terang dan ternyata benar apa kata si Jahid. Ketika kami mencoba mengambil gambar menara petronas sebenarnya bagus, tapi rasa-rasanya kurang joss aja gitu. Lalu kami menunggu langit gelap demi membuktikan kata-kata si Jahid. 30 menit penantian kami tidak sia-sia. Saya setuju dengan si Jahid. Saat langit gelap, menara petronas terlihat cantik dengan memancarkan cahaya lampu disetiap lantainya. Sangat kontras dengan langit yang berwarna hitam.
Kalau ini udah malem, ada bulan pula :D
Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Bukit Bintang. Kali ini kami tidak menggunakan LRT. Kami mencoba transportasi publik lainnya, yaitu GoKL. GoKL adalah bus dari pemerintah kota Kuala Lumpur yang yang akan mengantar siapapun secara gratis. Yep, lumayan kan hemat ongkos. Namun GoKL in hanya melewati rute-rute tertentu. Salah satunya dari KLCC ke Bukit Bintang. Ini bukan sebuah kebetulan. Tetapi saya sudah merencanakan hal ini sejak masih di Indonesia. Ribet kan backpacking itu. Harus bikin plan ini itu supaya budget yang keluar bener-bener dapat seminimal mungkin. Tapi justru itu yang asyik menurut saya.
Rute GoKL
Bukit Bintang ini bisa dibilang surganya belanja karena banyak mall dan toko fashion dengan brand ternama. Tapi tujuan kami bukan itu, melainkan ke Jalan Alor. Sebuah jalan yang dikhususkan untuk kulineran. Mulai dari makanan street food yang dijajakan menggunakan gerobak hingga makanan berat mahal-mahal. Tentu saja kami nyari jajanan street foodnya. Meski pada akhirnya kami hanya menelusuri sepanjang jalan, cuma lihat-lihat dari ujung jalan yang satu ke ujung lainnya. Hahaha!
Jalan Alor
Ketika berjalan menuju stasiun terdekat, tiba-tiba saja kami bertemu dengan seseorang yang familiar. Dia terduduk di depan sebuah toko yang tutup. Sendirian. Entah sedang melamun atau merenung. Saat kami dekati, ternyata itu si Jahid! Lah ngapain dia? Begitu saya sapa, dari raut wajahnya dia seolah tak menyangka bertemu dengan kami lagi. Begitupun dengan kami. Janjian juga nggak, tiba-tiba saja bertemu dengan wajah yang familiar sedang duduk dipinggir jalan. Sungguh mengejutkan.
Lalu kami ngobrol-ngobrol sebentar. Dilihat dari barang-barangnya yang semakin banyak, rupanya dia habis ngeborong di Bukit Bintang. Titipan oleh-oleh untuk teman-temannya ia bilang. Sampai-sampai carier ukuran 50L yang digendongnya tidak cukup untuk membawa semua oleh-olehnya. Gils banget dah si Jahid ini. Saya tak menyangka. Begitu dipertemukan kembali, dia telah memborong seisi Bukit Bintang. Juara!
Hanya sebentar kami mengobrol. Kami pamit pada si Jahid, malam itu kami harus mengejar bus tujuan Singapura. Sampai jumpa lagi Jahid, nice to meet you. Sungguh perjalanan kami menjadi banyak yang bisa diceritakan berkat kehadiranmu.
Maksudnya apa ya? Gagal paham ☹
Kemudian kami tertidur di kursi dalam perjalanan menuju Singapura… Berlanjut ke part 3 😊
* * * * *
Btw Jahid itu nama yang diberikan oleh Yogi, karena hingga pamitan pun kami tidak saling bertanya nama meski sudah banyak bercerita pengalaman traveling masing-masing XD. Sebenarnya masih ada beberapa hal terngakak saat bertemu si Jahid. Tapi nggak bakal saya ceritain, nggak kuat nahan ketawa :’DD. Bye!
Dulu saat belum tau backpacking, saya selalu mengira kalau traveling ke luar negeri itu bakal habis belasan hingga puluhan juta rupiah. Bisa saja memang kalau traveling ke eropa atau USA yang berbiaya hidup tinggi. Dan travelingnya pun sebulan. Haha. Tapi serius, dulu saya berpikir bakal menghabiskan banyak duit meski itu traveling ke negara tetangga.
Tapi itu dulu, kini setelah saya kenalan sama yang namanya backpacking. Jalan-jalan ke luar negeri itu murah kok, apalagi ke negara-negara tetangga sesama ASEAN. Maret 2017 lalu, saya baru saja dari Malaysia – Singapore selama 4 hari dan hanya habis sekitar 1 jutaan. Membengkak menjadi IDR 1500K akibat beli oleh-oleh dan kejadian tak terduga yang nanti bakal saya ceritakan. Also, belum termasuk tiket pesawat Surabaya – Kuala Lumpur PP sekitar IDR 400K. Tapi itu belinya 1 tahun sebelum keberangkatan, alias beli pada Maret 2016. Maklum tiket promo belinya harus jauh-jauh hari. Hehehe.
Di postingan ini saya hanya akan bercerita tentang perjalanan selama di Kuala Lumpur dan Singapura. Untuk itinerary dan rincian pengeluaran serta masalah teknis lainnya selama disana akan saya buat terpisah. So.. cekidot!!!
Minggu, 5 Maret 2017
Saya traveling ke KL & SG ini tidak sendirian. Bersama teman kampus, Yogi, yang sebelumnya juga sering traveling bareng. Bahkan mendaki ke Argopuro hanya berdua saja. Itu pun hanya sampai ke Telaga Taman Hidup. Hahaha.
Kami berangkat dari Bandara Juanda Surabaya hari Senin pagi dengan tujuan Kuala Lumpur. Yap. Itulah alasan kenapa saya bisa dapat tiket murah! Beli setahun sebelum keberangkatan + weekdays. Inget-inget, Itu tipsnya. Nah kami sendiri memilih berangkat minggu malamnya dari Malang. Berkat pengalaman ngemper di Bandara Soehat Jakarta beberapa waktu lalu, saya jadi berpikir hal yang sama di Juanda. Toh, ngemper di stasiun, terminal bahkan alun-alun saja saya pernah. Apalagi di bandara, pasti bisa lah.
Waktunya bobooo
Tidur di bandara memang pilihan terbaik kalau dapat waktu keberangkatan yang super pagi, jam 05.00! Tinggal pasang alarm jam 4 => bangun => cuci muka => check in => naik pesawat => lalu tidur lagi. Enak kan? Meski pada akhirnya kami kebangun jam 3 karena bandara jadi sangat ramai ketika kedatangan jamaah yang akan berangkat umroh satu pesawat dengan kami.
Berangkaaaat
Senin, 6 Maret 2017
Ini penerbangan pertama saya ke luar negeri. Bedanya dengan penerbangan domestik adalah pemeriksaan imigrasi. Disini akan dicek identitas penumpang berupa passport. Bukan ktp, sim atau kartu mahasiswa ya! Karena itu semua nggak berlaku kalau dibawa ke luar negeri. Hehehe. Belum punya passport? Baca tulisan saya untuk membuat passport dengan cepat secara online.
Siapin paspor pas pemeriksaan imigrasi
Setelah melakukan check in, kami tidak langsung ke gate. Melainkan menuju imigrasi untuk di-cap halaman pada passportnya. Kemudian baru ke gate keberangkatan dan naik pesawat. Begitu duduk di kursi pesawat. Saya langsung memilih tidur. Semalaman tidur dikursi bandara sama sekali tidak nyaman. Keras bosque. Kasihan tulang belakang. Tapi ya namanya backpacking, semua kenyamanan perlu disingkirkan demi budget seminimal mungkin. Iya gak? Hehehe!
FYI, waktu di Kuala Lumpur itu lebih cepat 1 jam dari zona WIB Indonesia. Atau sama seperti zona WITA. Saya sendiri baru mengetahui itu ketika tiba disana. Pada tiket tertera berangkat dari Bandara Juanda jam 5.40 dan tiba di Kuala Lumpur International Airport 2 (KLIA2) jam 8.50. Tetapi saat melihat jam yang terpampang di area bandara menunjukkan jam 10.00. Begitu pula jam di smartphone yang ikut berubah ketika tersambung ke WiFi bandara. Saya nggak begitu mengerti soal kebijakan zona waktu disana. Padahal kalau dilihat letak geografisnya dan ditarik garis lurus, Kuala Lumpur sejajar dengan Pekanbaru di Indonesia yang masuk zona WIB. Entah bagaimana kebijakan pemerintah Malaysia dalam menentukkan zona waktunya.
Ini salah satu yang dicari backpacker, air minum gratis!
Setibanya di bandara, kami berdua langsung mengabari orang tua masing-masing. Maklum lagi di negeri orang, jauh dari rumah. Setiap kali ketemu WiFi kami selalu internetan sekedar mengabari keluarga dan update instastory. Hehehe. Namanya juga backpacking. Kalau bisa gratisan, ngapain harus beli kartu sim lokal kan? Lagi pula nggak ada budget untuk beli juga. Wkwkwks.
Keluar dari KLIA2, kami memesan tiket bus menuju pusat kota Kuala Lumpur. Asyiknya bus disana sudah terintegrasi dengan bandara. Jadi kami membelinya pada loket resmi yang ada di dalam bandara. Jadi nggak ada calo-calo rese yang suka maksa gitu. Harganya pun beragam berdasarkan armada dan kelas busnya. Tentu kami cari yang paling murah dong! Saat itu kami naik bus Starshuffle dengan harga MYR 12/orang.FYI, 1 ringgit sekitar 3000 rupiah kalau dibulatkan.
Tujuan kami yang pertama adalah Batu Caves. Dari KLIA2, kami transit dulu di KL sentral untuk ganti kendaraan. Di pusat Kuala Lumpur, transportasi yang diminati dan paling efektif adalah LRT (Light Rail Transit) dan Monorail. Untuk ke daerah yang agak jauh dari pusat kota, termasuk Batu Caves, dapat menggunakan KTM (Kereta Tanah Melayu). Dan semuanya sudah terintegrasi dengan baik, sehingga sangat memudahkan para penggunanya.
Map LRT – Monorail - KTM
Benar, sistem transportasi disana sangat memudahkan. Tapi… harus ngerti rute dari tiap-tiap LRTnya itu sendiri. Jangan sampai kejadian seperti kami. Yap. Akibat nggak begitu paham bagaimana rutenya, yang ada kami malah nyasar! Salah naik LRT. Itu terjadi saat pergi ke Batu Caves menggunakan KTM. Jadi di KL Sentral terdapat 1 jalur rel KTM yang menuju ke arah Batu Caves dan Tanjung Malim yang digunakan bersama. Nah akibat ketidaktahuan, begitu ada KTM yang datang kami langsung naik. Padahal KTM yang baru datang tersebut menuju ke Tanjung Malim.
Kami baru menyadari selepas stasiun Putra. KTM yang seharusnya melaju lurus (berdasarkan peta LRT), kenapa jadi ada tikungan? Lalu yang bikin tambah yakin kalau kami nyasar adalah pemberhentian setelah stasiun Putra seharusnya stasiun Sentul. Tapi… KTM malah berhenti di stasiun Segambut. Fix kami nyasar! Menyadari hal itu kami langsung turun dan putar balik ke stasiun Putra. Kemudian naik KTM lagi dengan tujuan Batu Caves. Kali ini benar, karena kami plototin tuh lampu led yang berisi informasi tujuan KTM yang baru datang. Hadeuh belum apa-apa udah nyasar. Yang harusnya naik KTM cukup sekali, ini malah jadi 3 kali! Edyan.
Baca peta biar gak nyasar lagi
Begitu tiba di kawasan Batu Caves, first impression saya adalah rame banget dan puuanasss! Yang pertama kali menarik perhatian adalah landmark dari Batu Caves, yaitu patung Dewa Murugan tertinggi di dunia (42.7 meter). Dibelakangnya adalah Batu Caves itu sendiri yang merupakan sebuah bukit kapur dengan serangkaian gua yang berfungsi sebagai kuil umat Hindu.
Difotoin sama si Jahid
Sebelum memasuki Batu Caves harus menaiki 272 anak tangga! Mampus! Sebenarnya biasa aja sih. Tapi yang jadi masalah adalah matahari lagi panas-panasnya. Apalagi masing-masing kami bawa backpack ukuran 25L yang terisi penuh oleh perlengkapan traveling. Kombinasi panas dan beban di punggung benar-benar mimpi buruk. Namun, apalah arti petualangan kalau kita tidak meng-explore. Ngapain jauh-jauh ke Batu Caves dari Malang kalau cuma foto-foto di depan patung Dewa Murugan. Dengan tekad yang kami miliki, perlahan tapi pasti kami mulai menapaki satu per satu anak tangga yang berjumlah 272 tersebut. Sedikit saran, lebih baik ke Batu Caves pada pagi atau sore hari. Karena kalau siang bolong saat matahari menggantung tepat di atas kepala.. beuh! Menyiksa!
Yakin mau naik siang hari?
Terdapat tiga gua utama dan beberapa gua kecil pada bukit kapur ini. Kami hanya mendatangi Main Cave yang digunakan sebagai kuil umat Hindu. Terdapat ukiran-ukiran pada batu, gambar-gambar tradisional hindu hingga patung Dewa Murugan yang berukuran kecil. Cahaya matahari menerobos dinding gua melalui celah-celah kecil yang ada di atasnya. Main cave ini memiliki kedalaman yang luas. Oleh karena itu, area ini digunakan sebagai tempat utama berlangsungnya upacara umat Hindu.
Cahaya dari celah-celah gua
Kuil di dalam gua
Sebelum turun, kami singgah ke depan pintu masuk Dark Cave. Yap, hanya mampir doang. Lihat-lihat. Karena untuk masuk kesana perlu biaya lagi. Dan kami tidak ada budget untuk itu. Heuheu. Padahal sepertinya asyik. Dark Caves menawarkan tur rasa-rasa adventure ke dalam gua yang diseratai edukasi sains. Gua ini juga merupakan habitat salah satu laba-laba langka di dunia, Trapdoor Spider. Hati-hati jangan sampai kena gigit. Nanti jadi sapiderman!
Map Dark Cave
Yang menambah suasana semakin menarik dikawasan Batu Caves adalah keberadaan Kera ekor panjang. Haduh emang ya jenis monyet satu ini dimana-mana ada. Di gunung ada, di pantai, di Plangon banyak, kali ini jauh-jauh ke Batu Caves ketemu juga. Dan satu kemiripan dari semua kera ini dimanapun, bandel! Yep. Mungkin kebiasaan diberi makan oleh orang, monyet-monyet ini jadi aggressive pada wisatawan. Hati-hati aja dengan barang bawaan, karena mereka dengan senang hati akan mencurinya jika anda lengah. Hahaha!
Gak asing kan sama tenyom ini?
Setelah puas berkeliling dan capek serta panas yang utamanya sih, kami cabut dari Batu Caves. Tujuan kami selanjutnya adalah Masjid Jamek dan Kuala Lumpur City Gallery! Eh, Petronas Twin Tower juga deng. Hehehe!
Okehh 2 be continued yaa..